Sore

Perempuan itu duduk sendiri di sebuah gazebo kecil di sebuah lapangan jauh dari tempat tinggalnyamenatap rona jingga langit yang sedikit terhalang oleh atap bangunan yang telah lapuk. Dari sudut matanya tampak banyak kalimat tanyayang sedang ia cerna sendiriseiring waktu yang bergulir perlahan menuju malam. Entah apa yang sedang dipikirkannyatak seorang pun berani menerka-nerka. Sebab ia pun tak berani menerka apa yang ada dipikiran orang lain, karena tak seorang pun tau apa yang ada didalam pikirannya. Ya, serumit itu.

Ditatapnya langit jingga itu untuk beberapa lama. Seolah dari situ, ia bisa memotret momen melalui lensa mata nya. Dia masih duduk disana, membiarkan angin menerpa tubuhnya yang kecil namun kuat bagai baja. Ada apa gerangan? Seseorang dari kejauhan menatap nya tanpa perempuan itu sadari. Barangkali ia sedang menikmati keindahan alam semesta dan dalam hatinya ia tengah menghanturkan rasa takjub ke hadirat yang Kuasa. Namun mungkin juga, ia tengah memikirkan orang lain di suatu tempatyang ia harapkan untuk menemaninya menghanturkan rasa takjub bersama-sama. 

Aku baru saja menerka-nerka isi kepalanya. Ingin rasanya aku duduk disampingnyamenikmati gradasi warna pada langitdengan kedua lutut kami saling bersentuhan. Kemudian dari situ, mungkin, aku pun bisa mulai menerka-nerka isi hatinya. Seandainya saja. 

Tampak guratan mengantarai sepasang alis perempuan itu. Dia tengah memikirkan sesuatuseperti biasa. Ketidakberaniannya mengambil langkah; perasaan tidak pantas akan sesuatu yang belum pernah ia mulai; ketakutannya yang terlalu berlebihan; dan segala hal lain membaur menjadi bom waktu di dalam diri nya. Dan aku, ingin menyelamatkan perempuan itu, sebelum bom waktu itu meledaklalu membuat setiap perasaan yang tak pernah diutarakannya terurai menjadi tiada.

Perempuan ituia tangguh sekaligus lemah. Terlalu jelas dan terlalu kabur, untukku. Namun selalu ada sesuatu tentangnyayang membuatku bertanya-tanya.

Siapa gerangan yang telah membuatmu terlukasehingga karena itukau tak bisa berhenti memikirkannya?

Dia masih duduk disana. Diantara kesunyian hingga Adzan menyuruhnya kembali. Lalu, aku, lenyap bersama sunyi yang ditinggalkannya.

Poetic


I kinda forgot when did I watch 'Ada Apa Dengan Cinta' for the really first time. Who in Indonesia didn't know that movie? It's a sort of romantic movie that I believe have successfully made some people become more poetic by watching it. (eventhough I still don't get how could Rangga didn't notice that he dropped his book. Really)

I used to write poetry as well. No, not because Rangga and Cinta has affected me. It's more because I love how people could arrange words into such thing. So I made mine. I made some pieces of poetry in my note-book. I was still running that stuff until I graduated from junior high school.

Nah, I just watched Ada Apa Dengan Cinta twice in a row! It provoked the poetic side of me. Hahahaha. Actually these poetry below have been in my draft folder for days. I didn't know what on earth make me hesitate. But hmm.. yeah.. here's the poetry that I just made. Ibarat sudah basah, mending langsung mandi saja sekalian.


***


Tahukah..

Ada sesuatu dalam dirimu yang terasa sangat jauh, pun begitu dekat
Seperti hamparan bintang diatas tanah lapang dengan tebing-tebing yang berdiri kokoh di tiap sisinya
Yang seakan bisa kupetik, semudah memetik sisa-sisa padi yang terbakar oleh bara kemarauyang kulewati dibawah langkah-langkah kecilku

Kau,
Kau sering berada diantaranya

Diantara aroma malam yang memenuhi ruang paru-paruku
Diantara angin yang menjilat tengkuk ku lalu hilang berlalu entah kemana
Kau ada diantara kehampaan dan ketidaktahuan ku atas apa yang selama ini kutuju
Kau ada di setiap kali kebingungan ku seolah memaksa diriku untuk berpuisi

Namun, kau tahu, bibir ini bak lokerdan aku tak bisa berkata-kata
Hanya tatap, hanya ratap
Hanya lagu-lagu cinta yang mengalun bukan untuk siapa-siapa

Lagi,
Kau sering berada diantaranya

Diantara bait-bait yang kunyanyikan tanpa sengaja
Diantara nyanyian yang melewati lubang telingaku lalu berputar-putar mengarungi isi kepala
Kemudian kembali menjadi sepenggal kalimat yang terngiang untuk beberapa lama
Sepenggal kalimat dimana kau ada didalamnya

Kau adalah apa yang kerap kali tampak ketika wajah bulan menyembul dari sela-sela batang pohon
Bias cahaya nya menemani jalan-jalan dan persimpangan yang kulalui
Jalan menuju rumah, bukan jalan menuju mu
Tapi, kau tahu, entah mengapa bulan ini seolah menuntunku untuk kesana

Jalan ini lurus, namun aku hilang arah
Cuaca ini cerah, namun sejauh mata ku memandanghanya gelap gulita
Tempat ini ramai, namun aku tak menemukan siapa-siapa

Ketahuilah,
Dibalik setiap kata dan semua rasa yang tertahan

Aku hanyalah manusia yang tidak pernah tahu bagaimana caranya untuk bisa benar-benar mencintaimu

The Difference Between Accepting Who We Are And Striving to Become a Better Person

I’ve seen that happened, I’ve felt that way either. Generally, people want to be accepted as who they are. Either it’s the bad sides of them yet the good ones. I bet we all have heard these words comin’ out of nowhere:

“This is me. If you can’t accept me just the way I am, go the f*ck out of my way!”

If you realize the bad side of you, have you ever thought--maybe just once at a time—that you actually want to become a better person of you, rather than forcing people to accept you anyway?

I’ve mentioned it, and still rely on those words: “everyone have that ‘standart point’ that no matter how they seem to change, they will reach that point back in return”

People change, that’s one thing I know for sure. But where the ‘change’ leads you to, is what matters the most. Whether it gets you higher, or make you fall on to the ground. I’ve heard from somewhere that people actually never change, they just pretend like they do. The good thing is, if you pretend like you’re changing to be so much better than before, you might forget that you actually pretend.

Because you know, it’s a good feeling; realizing that you’ve done such good things.

I know, I know, it’s kind of sucks knowing that people want you to be somebody else instead of yourself in general. But if they actually want to see you better, don’t you ever think about it—like once in a moment? There would always be people who are gonna judge you. It’s all your choice to take it as.

..and I’d rather to take it as a lesson. Because I’d always like to increase the quality of my self—yet, we are not living in our own world.

Becoming a better me, is such an accomplishment that life could ever granted. It’s our right to stop caring about what other people think of us, but perhaps we just need to give it a little time—to pick some lessons out of it.

At least, you’re trying. You make an effort which shows that you mean it. You notice all your lacks and you don’t want to make them stay the same.

You’re gonna find the one who will accept you just the way you are. But don’t you ever want to become a better one, right before she/he comes? Or maybe she/he is already there all this time.

Be a better person of you—but still doesn’t make you less real. Be better just for the sake of being better.  


"There's always something melancholy by sitting in a dark room. Such a lightless spot where you can see through things a bit clearer. And you know, I sometimes think about what we could have been. But right about then, I think I just need to get my self out of the room, and find the light through the tunnel of life." - Asy

Keep workin' your a*s off!

This is a post that I made while I am waiting. (8.54 pm, at VEDIT)

Kita semua pasti sudah memiliki cita-cita semenjak kita kecil dulu, yang barangkali sudah berbeda 360 derajat dengan cita-cita kita sekarang. Dulu, waktu masih SD, cita-cita kita sangat bergantung pada apa yang kita anggap paling keren--serta apa yang teman-teman kita cita-cita kan pada umumnya. Mungkin hal ini sudah tidak asing lagi dalam benak kalian semua. Misalnya, cita-cita menjadi seorang Dokter. Anak kecil mana sih yang tidak berkeinginan menjadi seorang dokter--dengan niat mulia agar bisa menyembuhkan orang-orang yang sedang sakit?

Saya sendiri semenjak kecil sama sekali tidak pernah bercita-cita untuk menjadi Dokter. Saya masih ingat cita-cita pertama saya adalah menjadi seorang arsitek. Setelah itu, cita-cita saya terus menerus berubah seiring bergantinya zaman. Saya sempat bercita-cita menjadi seorang penulis, penyiar radio, fotografer, dan masih banyak lagi cita-cita lainnya. Yap, seperti apa yang saya bilang tadi: bergantung pada apa yang kita anggap paling keren. Kalo kata orang sih, "bermimpilah setinggi-tingginya". Tapi kalo kita hanya bermimpi namun tidak melakukan apa-apa untuk merealisasikan mimpi tersebut, that is kind of bullshit.

Ketika saya menelaah kembali, terkadang saya mencita-citakan sesuatu tidak berdasarkan hasrat (passion) yang berada dalam diri saya. Kadang memang kita menyukai suatu bidang, tapi hanya sebatas suka dan tidak terlalu tertarik untuk mendalaminya. Misalnya saja, saya sempat bercita-bercita menjadi seorang pianis. Saya dari dulu ingin sekali bisa bermain piano, karena menurut saya seorang pianis adalah profesi yang keren. Tapi akhirnya saya sadar bahwa kita tidak bisa selalu mampu menguasai apa yang kita ingin kuasai, apalagi cuma sebatas karena: that stuff is really cool. Lalu saya sadar bahwa bisa bermain gitar sudahlah cukup untuk memenuhi hasrat saya dalam bidang bermain alat musik instrumental.

Having no passion is like having no future. Sejujurnya, saya adalah salah satu penganut "jalani saja.." dan saya menganggap bahwa memiliki terlalu banyak rencana itu agak-agak depresif. Apalagi kalo ternyata nanti segala sesuatu nya terjadi diluar rencana yang telah disusun. Jadi saya lebih suka berfikir yang realistis-realistis saja. Susah sekali memang untuk tidak memiliki target. Dalam hati kecil saya juga sebenarnya saya memiliki banyak rancangan-rancangan hidup kedepannnya, tapi saya memilih untuk tidak terlalu berharap banyak.

Di umur yang sudah terbilang dewasa ini, sepertinya bukan zamannya lagi untuk mencita-citakan sesuatu yang hanya semata-mata 'keren'. Passion itu bukan hanya sekedar sesuatu yang kita suka, melainkan lebih kepada sesuatu yang kita tidak bisa tahan untuk tidak kita lakukan.

Dalam menjalani passion ini, tentunya akan banyak batu loncatan yang akan dilewati--yang akan membuat kita jatuh bangun sampe berdarah-darah. Akan banyak orang yang akan menilai apa yang kita kerjakan. Namun satu hal yang harus selalu kita tekankan, bahwa belum tentu orang yang menertawakan atau merendahkan kita itu lebih bisa daripada kita. So keep workin' your a*s off!

01.23 am

'Mungkin saya yang terlalu mensugestikan diriku sendiri sampai berlarut-larut..'

I said it to one of my friend as we walked along together to the classroom. Yesterday went badly. Okay, not bad, it was worst.

I felt tired, mentally. I need to lay my back down to the ground, so then I shut my self off by sleeping at campus. It was blackout but I was still able to sleep. I felt all bad by the moment I woke up. Seems like I lose all my spirit away.

There are always times when I don't feel like talking. And these last three weeks are the worst.

I need to go somewhere. A friend of mine asked me to go with him, but I felt disappointed and i can't help my self no to cry as he offered me and then I choosed not to go and just go home--where no one is around.

I walked into the door and then locked my self there. My dad has a meeting and he wont be around in next three days. My mom and sisters were going with him too but they'll be coming back at night. So there I was alone. With no one to talk to.

It was three in the afternoon--and I really don't get why is it so easy for me to cry.

I was exhausted, and then I sleep over. I woke up at 06.30 pm and discovered that it was already night. Still nobody is around. I turned on the lamps and then lay my self down again until 9--and I already heard my door being knocked. Still not a good feeling. Seems like I was having too much sleep. I guess you know how it feels when you cry yourself out until your spirit run out and then you feel all empty.

So here I am. Helpless......

Unrequited love

Di salah satu postingan saya sebelumnya, saya sempat menyinggung soal puisi yang pernah saya buat ketika masih SD dulu--pas lagi patah hati. Disitu saya menuliskan kalo saya akan membuat sebuah postingan yang akan membahas soal puisi tersebut. Cerita latar belakang dari puisi ini sebenarnya sudah pernah saya post di notes fb, tapi puisi ini sendiri belum pernah saya post di jejaring sosial manapun (tsailahhh). Dengan adanya puisi ini, cukup menggambarkan bahwa Nicha dari kecil ternyata anaknya sudah romantis, melankolis, mistis dan amis.


Tak dapat kubendung air mataku
Ketika kau katakan sayang padanya
Tak menyangka aku yang putus asa
Saat kuyakin aku akan menggatikan posisinya
Patahan cinta itu makin membuatku sedih
Ingin rasanya aku jauh darimu
Tak kuat lagi aku menatapmu
Ketika seseorang sudah berada disampingmu
Ruang kosong di hatimu telah terisi oleh cinta
Namun cinta itu bukan dari diriku
Sesaat aku berpikir
Bahwa aku yang akan berada di posisinya
Aku yang pernah engkau sayangi
Aku yang akan berada di hatimu
Namun itu hanya sebuah kata
Yang tak bisa diwujudkan
Betapa ku berharap kau akan menyayangiku
Walau sesaat dan sedetik saja
Tapi..
Rasa itu hanya menjadi rasa malu
Dan rasa saling menjauhi


Itu tulisan tangan saya asli waktu masih kelas enam SD. HAHAHAHAHAHAHAHA.

Saya ingat banget dulu, pulang sekolah saya langsung masuk kamar terus buang diri ke kasur. Lalu berikutnya, seperti adegan di film-film, saya nangis sambil tengkurap di atas kasur--dengan bantal yang dipake buat nopang dagu. Okay, It sounds so aaaarrrgggghhhh*%#@!*&^%.

Di dalam ruangan yang sama serta di hari yang juga sama, saya menulis sebuah puisi di selembar halaman binder kepunyaan saya yang masih ada sampe sekarang. Entah saya dapat ilham darimana sampai kalimat-kalimat diatas bisa tersusun sedemikian rupa. Yang jelasnya waktu itu saya sedang patah hati. Sekarang kalo dipikir-pikir lagi kayaknya bego banget ya waktu itu. Tapi itu pernah terjadi, dan rasa sakitnya memang ada, walaupun beberapa tahun setelahnya saya merasa konyol dengan apa yang pernah saya lakukan. Satu hal yang saya tau, tidak ada yang perlu disesali dengan hal yang kita lakukan secara sadar. Kecuali kalo waktu itu saya habis pesta miras. Atau lagi mabok lem.

Jadi cerita yang melatarbelakangi terciptanya puisi diatas adalah cowok-yang-saya-suka-malah-nembak-sahabat-saya-sendiri. Yap, terlalu klasik sepertinya. Tapi kayaknya tidak ada cerita cinta yang tidak klasik. Semesta ini luas banget, kemungkinan orang lain menjalani apa yang kita sedang jalani itu sangat sangat sangat besar. Yap?

Kami bertiga (saya, cowok yang saya suka dan sahabat saya) itu sekelas. Entah sejak kapan saya mulai merasa ketertarikan dengan lawan jenis. Dia gak ganteng sebenarnya, tapi keren (di mata saya). Saya suka dengan lesung pipinya yang ngembang tiap kali dia senyum. Saya suka dengan rambutnya yang dipakein jambul. Serta berbagai alasan sederhana lainnya, yang tentunya berbeda dengan alasan-alasan mengapa orang dewasa jatuh cinta.

Dulu waktu SD, duduk sebangku sama lawan jenis merupakan hal yang sangat sangat sangat sakral. Nah, sekarang, rangkul-rangkulan sama teman cowok is no longer a thing, at all.

Teman-teman kelas saya yang lain sebenarnya sudah banyak yang tau kalo saya suka sama dia. Hampir setiap hari saya mendapatkan sorakan "CIEEE CIEEE IHIIYYYY" setiap kali tanpa sengaja keadaan "mendekatkan" kami berdua. Saya yang waktu itu masih pake seragam putih-merah--dengan tampang ingusan--yang setiap jam istirahat suka ngemut-ngemut es plastik seharga seratus perak, sudah ngerti yang namanya kesemsem tiap ketemu gebetan.

Suatu hari, di kelas, pas jam istirahat (atau yang dulunya lebih akrab disebut dengan 'keluar main'), saya duduk sendirian di bangku paling belakang--tempat duduk saya. Eh sebenarnya saya gak sendirian deh. Di kelas itu juga ada sahabat saya. Anggap aja namanya.. Arin. Segerombolan teman-teman kelas saya yang lain tiba-tiba masuk dan manggil-manggil si Arin terus maksa dia keluar. "ayo cepetan.." (tentunya dalam logat Makassar yang khas). Lalu teman-teman saya itu bilang "Dimas suka sama kamu!" Yah, anggap aja cowok yang saya suka itu namanya Dimas. Tentunya Arin bingung, begitupun juga saya. Ternyata waktu itu si Dimas mau nembak Arin, jadilah hati saya hancur berkeping-keping. Arin tau jelas kalo saya suka sama Dimas.

Awal ceritanya (dari yang diceritain teman saya), di pertengahan buku tulisnya Dimas ada tulisan "I love you Arin". Sebenarnya saya agak-agak lupa sih dia nulisnya "I love you Arin" atau "Dimas love Arin". Akhirnya gara-gara itu teman-teman kelas saya malah gencar ngejodoh-jodohin Arin sama Dimas (padahal mereka tau jelas kalo saya suka sama Dimas. Oh guys come on!). Arin pun beranjak keluar bersama teman-teman kelas saya--dan saya mencoba membangun bendungan air mata, sendirian di dalam kelas. Tak beberapa lama setelah itu, Arin muncul dari luar lalu lari ke dalam dan mendatangi saya. Dia bilang dia gak bisa nerima Dimas (co cwiiiitt...).Si Arin sampe nangis gitu. Tinggal kami berdua di dalam kelas. Sepi.

Terus pas pulang ke rumah, saya nangis deh. Yang tadi saya ceritain.

Beberapa hari setelah itu, keadaan mulai gak membaik. Saya gak ngomong lagi sama Arin. Dan ternyata, Arin sama Dimas udah jadian. Yang semakin bikin hati saya sakit, si Arin sempat ngasih tau ke Dimas kalo saya suka sama dia. Terus Dimas ngejelasin kalo dia gak suka sama cewek tomboy kayak saya. (GUBRAK!)

Beberapa hari berikutnya, antara Arin dan Dimas terjadi konflik. Yaa berantem gitu. Dulu tiap pulang sekolah saya suka singgah di mesjid buat main-main (loh?). Dulu saya suka main kasti atau sekedar duduk-duduk di halaman mesjid yang memang luas. Jadi saya, Arin, dan Ayu (temen saya yang lain) ketemu di mesjid buat ngobrol. Disanalah Arin cerita-cerita tentang si Dimas. Rasanya aneh banget. Pasti banyak yang ngerti rasa anehnya kayak gimana. Arin sampe memperlihatkan cincin yang dikasih Dimas. Disitu saya coba buat menahan rasa cemburu. Arin bilang dia mau ngebalikin semua yang pernah Dimas kasih buat dia. Coklat, dan salah satunya ya cincin itu. Arin melempar cincin itu di rumput-rumput pas didepan tempat kami bertiga ngobrol. Eh gak lama, malah dia mau nyari lagi tuh cincin. Akhirnya saya sama Ayu bantu dia nyari di rumput-rumput, dan saya deh yang nemuin.

Hari-hari berlalu. Keadaannya malah jadi canggung tiap saya ketemu sama Dimas. Saya juga malah ngerasa malu-malu tiap mau bicara sama Arin. Serba salah pokoknya. Lama setelah itu, akhirnya mereka berdua putus. Dan setelah mereka putus entah kenapa saya sama Arin jadi sama-sama membenci Dimas. The end of the story.

Pahit memang kasus unrequited love ini. Atau dalam kalimat lain: 'love clap one hand'. Yang bisa dilakuin cuma jadi fans gelap doang, alias secret admirer. (supaya kedengaran sedikit lebih keren).

Well, saya suka bingung, yang mana sebenarnya perasaan lewat; dan yang mana perasaan-yang-singgah-lama-tapi-akhirnya-lewat-juga.

a letter from a fan.

Someone once told me,

"..just consider myself as a fan. yeah, a fan."

It was two years ago, when we both talked through the chat room. He was kinda giving up, well yeah, right before it, he actually wasn't brave enough to take a little step forward--he didn't make it for us. And there it was, the end of the story.

...we drew a line of an ending--or maybe the universe.

I once made a tweet, "not sure if I fall in love, or just being a fan."

Whenever I feel like I attract to someone, I find it hard to look at the difference--whether I fall for him or I-am-actually-just-being-a-random-fan. I hate the feeling that I secretly admire him. I hate the feeling that I actually look for him when I am alone. Feels like I've been lying to myself all this time. I feel like I am too naive to myself. But.. I dont know. I just dont know. I realize that I always feel a kind of disappointment whenever I thought he was around, but he wasn't there.

In the end, I knew who I look for. I knew who I wish was there. 

I find it hard to admit that I fall for him. All I know is I am happy as long as I still get a chance to get to know him more, by stare at the way he talks--by the words that came out through his mouth. There's a fight happen right in me, but I enjoy every single moments that are going.

I don't love you, you know, this is really hard to explain. I admire you. I love your existence. I love the atmosphere when you are around--just like I want to live there a little bit longer. You know, you are just too good to be true. Like.. being paid for something I've never worked on. It's not a good kind of satisfaction.

On the other side, I am glad that I eventually have another 'person' to think about. The person who might not think of me as often as I do. Because you know (again), I am a fan--a fan who crave for her idol.

Most of times I know I'm not a good lover, that's why I think you don't deserve a person like me. A person who sometimes loves being in solitude. She thinks it's better--things are clearer.

Let me just stare at you while you stare at me too, or anytime you look away. Let me take a picture through my mind, let me make a sketch out of it.

Let me..

enjoy my role.