simple daily thoughts

Ingat kebaikannya..
Inilah kalimat yang selalu coba gue lafaskan dalam hati setiap kali ada teman yang "menyakiti" gue. Tidak semua orang bisa selalu berlaku baik ke kita, bahkan sahabat kita sendiri. Kita pasti tau bagaimana rasa senang yang kita rasakan pas kita ditolong atau pas teman kita lagi baik-baiknya sama kita. Bagaimana rasa syukur dan terima kasih yang kita hanturkan sebab Tuhan telah bermurah hati mengirimkan orang seperti mereka. Tapi sekali lagi, kita tidak mungkin bisa selalu diperlakukan secara menyenangkan, dan kita tidak berhak menuntut untuk itu. Mungkin aja suasana hati mereka sedang gak bagus. atau mungkin ya kembali ke diri kita sendiri. Mungkin kita yang emang lagi nyebelin. Kalo kita merasa "kayaknya gue biasa-biasa aja deh" atau gak salah apa-apa, yaudahlah, mungkin emang mereka sedang gak respect sama kita, dan perlakuan buruk orang ke kita bukan sesuatu yang harus dibalas dengan perlakuan yang sama. Cuma orang bego doang yang mau nge-guyur api kebakaran pake bensin. Karena sekali lagi, gue selalu mencoba menanamkan dalam hati dan benak gue "ingat kebaikannya.." ya emang miris sih, bagaimana terkadang satu kesalahan bisa menutupi seribu kebaikan. Tapi gak ada gunanya mikirin yang buruk-buruknya, karena semua orang emang punya keburukan dan pernah "menjahati" orang lain. yang terpenting adalah gak memperkeruh keadaan aja. Kalo emang orang itu gak pernah punya catatan kebaikan dalam memori kita yang bisa diingat, doain aja dia yang terbaik.Kalo kita udah tau gimana rasanya digituin orang, kalo rasanya enak ya dibagilah ke orang biar orang lain ngerasain juga. Tapi kalo gak enak, biar itu jadi pelajaran buat kita sendiri.

Cerpen?


“BEDA”

Pernahkah kau merasa bosan dengan seseorang yang telah sekian lama kau cintai? Atau pertanyaan lain yang berbeda, misalnya; pernahkah kau merasakan ketika seseorang bosan denganmu?
Aku menanyakan hal itu pada Aldi, pacarku, ketika kami sedang duduk bersampingan di sebuah tempat makan favorit kami. Bukan, bukan pertanyaan kedua. Dia menyeruput es teh manis dihadapannya lalu memalingkan wajah kearahku dengan tatapan seolah aku baru saja menuduhnya telah merampok di sebuah bank. Mungkin dia berfikir bahwa aku sudah bosan dengan hubungan kami sehingga aku bertanya demikian. Tapi sejauh ini, memasuki tahun kedua kami bersama, aku tidak pernah merasa jenuh atas hari-hari yang kulalui bersama dia disampingku.
“kok tiba-tiba nanya gitu?”
“gak papa. Pengen tau aja.”
“kalo aku tanya sama kamu, pernah gak kamu ngerasa bosan sama aku?”
Aku menggeleng pelan. Dia tersenyum, “aku gak pernah bosan sama kamu.”
“aku takut suatu saat nanti kamu bosan sama aku, terus kamu pergi.”
Kulanjutkan kalimatku sesuai dengan apa yang tertulis di hati, “aku takut ada orang lain yang lebih daripada aku dan karena itu aku jadi gak bernilai apa-apa.”
Dia menatapku geram. Aku langsung bisa mengerti bahwa aku harus segera diam.
“aku gak suka kamu bicara kayak gitu.”
Nada bicaranya terdengar serius. Kutundukkan kepalaku sebab tak berani melihat amarah di wajahnya.
“aku sayang kamu. Please berhenti mikir macem-macem. Kamu cukup tau kalo aku sayang sama kamu dan aku gak peduli kalo ada yang lebih baik dari kamu.”
Ucapannya itu berhasil menenangkanku, walau cuma untuk sesaat. Selebihnya, rasa khawatir di dalam hatiku terus meluap-luap. Meskipun aku juga tidak paham apa yang sebenarnya kukhawatirkan.
Dalam perjalanan pulang, kupeluk dia dari belakang sambil menikmati udara malam yang menerpa kami. Kutempelkan daun telingaku di punggungnya lalu sebisa mungkin menikmati setiap detik yang berjalan.
Kami pun tiba didepan rumahku, dan seperti biasa Aldi ikut turun dari motornya agar bisa memelukku terlebih dahulu sebelum aku masuk. Aku suka berada dalam pelukannya, yang selalu diikuti dengan sebuah kecupan yang mendarat dengan mulus di keningku. Setelah itu, kita hanya akan saling tersenyum, lalu aku akan beranjak meninggalkan dia masuk ke dalam rumah. Dan seperti biasa lagi, selalu ada pesan darinya yang masuk di handphone­-ku, tidak lama saat aku baru saja merebahkan diri diatas kasur.
"I love you, sayang."
Se-sederhana itulah kebahagiaan yang dia beri padaku. Suatu kebahagiaan yang berarti banyak sekali.
Hari demi hari berlalu tanpa ada masalah yang berarti. Tapi masalah demi masalah terus datang, tidak peduli seberapa besar usaha untuk meminimalisir kemungkinan kedatangannya. Hingga entah bagaimana alurnya, atmosfer yang berbeda seolah mengurung duniaku. Dunia dimana dia berada didalamnya.
Tiga bulan berikutnya, aku dan Aldi sedang berjalan di dalam mal menuju sebuah tempat makan setelah menghabiskan sekitar satu jam mengelilingi toko buku. Kulirik laki-laki yang sedang berada disampingku. Aldi sedang memainkan bb-nya sambil sesekali menatap kedepan untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang akan ditabraknya. Tiba-tiba aku teringat saat pertama kali aku dan Aldi jalan bersama,  seperti sekarang. Sebuah momen dan lokasi yang sama. Setelah beberapa kali diliputi perasaan canggung setiap kali tangan kami bersentuhan tanpa sengaja, dengan malu-malu dia bertanya kepadaku, “can i hold your hand?
Dengan wajah yang memerah seperti tomat yang baru matang, aku menjawab, “sure.” Setelah itu kami berdua berjalan dengan tangan yang saling menggenggam, serta jantung yang berdetak dengan kecepatan yang tidak normal.
Ingatan itu pun kabur sesampainya kami tiba di tempat makan yang kami tuju. Kita melangkah ke meja paling pojok di ruangan itu. Aldi tampak sedang tidak ingin banyak bicara, sehingga aku terus menerus memulai percakapan bahkan ketika kami sedang memilih menu yang akan kami pesan.
“kamu mau makan apa?” tanyaku.
“terserah.” Jawabnya singkat. Dia melipat tangannya diatas meja lalu menerawang ke sekeliling ruangan seolah aku sedang tidak berada disampingnya.
Awalnya itu tidak menjadi masalah bagiku. Dengan perasaan yang tenang, aku mencoba mengusulkan, “kita makan nasi goreng ampela aja ya.”
Dia hanya menganggukkan kepala tanpa bereaksi apa-apa lagi. Setelah memesan makanan, kami berdua hanya terdiam. Sesekali dia memperbaiki letak kemejanya yang sebenarnya masih rapi dari pertama kali aku bertemu dengannya hari ini. Kuperhatikan tiap gerak-geriknya lalu mulai memikirkan, sepertinya ada yang salah. Ada sesuatu yang salah ketika dua orang yang raganya sedang bersama namun seperti dipisahkan oleh jarak beratus kilometer.
Setibanya kami didepan rumah saat dia mengantarku pulang, aku turun dari atas motor dengan pemikiran bahwa setelah itu dia akan ikut turun lalu memelukku seperti bagaimana saat-saat biasanya. Namun saat aku turun dan melepaskan helmku, aku tidak melihat ancang-ancang bahwa dia akan turun dari atas motornya.
Tak lama kemudian, dia memberikan tanda kepadaku bahwa dia akan bergegas pergi. Dengan perasaan yang hancur, aku bertanya, “is there no goodnight kiss?”
Setelah beberapa detik yang begitu menyesakkan dada, dia melepaskan helmnya lalu turun dan berjalan kearahku. “good night.” Ucapnya setelah mengecup pelan keningku. Kutarik nafasku lalu berbalik badan dan masuk kedalam rumah. Suara motornya pun lenyap dari kejauhan.
Entah kenapa, perpisahan ini terasa ganjil. Seperti ada tulang kering yang tersangkut di tenggorokan. Kita berdua berlalu untuk saling meninggalkan, tapi tidak dengan kesan yang indah. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar lalu membuang diri diatas kasur. Handphone­-ku tidak juga berbunyi bahkan ketika berjam-jam sudah berlalu setelah dia pergi. Dan benar saja, sampai aku terbangun dari tidurku, pesan yang kutunggu tidak juga muncul.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba membiasakan diri pada setiap perubahan yang dia tampakkan. Sifatnya yang dingin setiap kami jalan bersama, kata-kata manis yang tidak lagi muncul saat aku bangun atau baru saja akan terlelap, serta perubahan-perubahan lainnya yang kadang memang menyakitkan buatku. Aku sadar betul kalau aku benci dengan suasana yang sedang kualami. Aku benci saat aku harus maklum seolah-olah dia sedang terserang amnesia dan aku harus berusaha sekuat mungkin untuk membangun ingatannya kembali.
Dan memang itulah satu-satunya yang bisa kulakukan. Membangun ingatannya kembali.
Aku sering mengajak dia pergi ke tempat-tempat yang sering kami datangi bersama, lalu mulai membahas banyak hal yang dulunya memang selalu kita bahas. Semua ini sebenarnya terasa sangat menggelikan, tapi berubah menyenangkan saat akhirnya aku mulai bisa menikmati kebersamaan itu lagi, walau suasananya sudah tidak lagi sama.
Akhirnya, pada suatu percakapan kami di telfon, aku memberanikan diri bertanya padanya, “kamu udah bosan yah?”
“maksudnya?”
“iya, kamu udah bosan sama aku?”
Hening. Kemudian dia menjawab, “ngga.”
“ada cewek lain?” tanyaku tanpa pikir panjang.
kudengar hembusan nafasnya yang panjang, lalu dia menjawab lagi, “jangan pernah kamu berfikiran kayak gitu.”
Hening lagi. bagaimana mungkin aku tidak berfikiran seperti itu?
Setelah percakapan kami saat itu, semuanya belum juga berangsur normal. Pada akhirnya, kunikmati saja hari-hari yang berjalan, sebab yang aku tau bahwa dia mencintaiku. Walau entah sebesar apa rasa cinta itu. Aku tidak peduli.
Beberapa bulan berikutnya, tiba saat seminggu sebelum ulang tahunnya yang juga bertepatan dengan perayaan dua tahun kami. Semuanya sudah kurencanakan didalam kepalaku, bahkan aku juga sudah meminta tolong bantuan teman-temannya untuk membantuku memberi sebuah kejutan.
Aku akan menghias kamar kosannya yang sudah dia tempati selama dua tahun lebih sejak dia merantau dari kota asalnya ke kota kelahiranku untuk kuliah. Aldi akan kembali ke kosannya saat lewat tengah malam setelah berkumpul bersama teman-temannya dan langsung akan melihat cahaya lilin diantara lampu kamarnya yang padam saat dia membuka pintu. Setelah itu dari luar aku dan teman-temannya akan muncul sambil membawa sebuah kue dengan lilin yang bertuliskan angka 21 diatasnya. Sekiranya seperti itulah yang sudah kurancang dalam benakku.
Tiga hari sebelum hari itu, Aldi dan aku bertengkar. Suatu hal yang sudah biasa terjadi selama beberapa bulan terakhir ini. Dia tidak lagi punya waktu untukku. Biasanya setiap akhir pekan aku hanya menghabiskan waktuku dirumah sambil membaca buku-buku lama yang kuambil dari dalam rak sebab aku tidak lagi punya pilihan lain, apalagi menonton televisi terasa sangat membosankan.
Aku selalu berusaha menghubunginya setiap hari, dan saat itu pula lah aku merasa terabaikan. Hingga pada akhirnya, di suatu malam saat hujan deras sedang mengguyur bumi, kusadari bahwa dia memang sudah tidak mencintaiku, tanpa perlu dia ucapkan.
Namun kuputuskan untuk tidak menyerah. Sebab yang kutahu, dulu Aldi pernah berjuang untukku.
Hari itu pun tiba. Rencanaku sebelumnya tetap kujalankan. Pukul 10 malam, aku berangkat menuju kosan Aldi bersama tiga orang temannya. Kunci kamarnya telah diduplikat untuk memudahkan misi ku. Dalam hati aku terus berdoa kepada Tuhan agar semuanya dilancarkan.
Kami baru saja sampai ketika hujan yang sangat deras tiba-tiba datang mengguyur. Saat itu memang sedang musim hujan, mengingat bahwa kita sedang berada di pertengahan bulan Desember. Sebelumnya hujan gerimis telah menemani perjalananku ke kosannya. Pakaian yang kukenakan tampak basah dan rambutku lepek karena air hujan. Diam-diam aku menahan rasa dingin yang menyerang sekujur tubuhku. Saat itu aku hanya mengenakan kaos dan cardigan tipis untuk melapisi kulitku dari udara malam yang berbaur dengan angin kencang- yang disertai hujan.
“buset hujannya deras banget.” Gumam Bayu, salah seorang teman Aldi sambil menggosok-gosok kedua lengannya.
“kue sama lilinnya aman kan, Din?” Angga bertanya kepadaku yang sedang memegang rapat-rapat kotak berisi kue di dada-ku. Aku mengintip isi kotak itu untuk memastikan bahwa keadaan kue nya masih baik-baik saja.
“iya aman kok.” Jawabku disertai dengan anggukan. Angga merogoh kantong celananya untuk mengambil kunci lalu membuka pintu kamar Aldi.
Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam ruangan itu bersama Angga, Bayu, dan Reno. Kutaruh kotak kue diatas sebuah meja kecil disamping tempat tidur lalu mengambil sebuah kantongan plastik berisi puluhan lilin di dalam tas selempang ku. Angga, Bayu, dan Reno membantuku menyusun lilin-lilin itu diatas lantai keramik kamar Aldi menjadi sebuah bentuk hati , lalu menyalakannya dengan korek gas. Mereka bertiga  memiliki selera humor yang tinggi sehingga aku tidak bisa berhenti dibuatnya terhibur dengan candaan-candaannya disela kerjaan kami.
Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah 12 saat lilin-lilin itu telah tersusun dan menyala dengan rapi . Hujan tampak masih se-deras saat kami baru saja sampai tadi dan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Kupeluk lututku sendiri sambil duduk menyandar di tembok dan berharap bahwa hujan akan segera reda. Angga, Bayu, dan Reno sedang asik merokok di dekat pintu agar asapnya tidak mengepul dalam ruangan.
“kayaknya cuman kurang kopi sama gorengan nih.”
“nah! Itu yang sebenarnya pengen gue ungkapin dari tadi.”
“gorengan cuccok banget nih. Apalagi pisang goreng. Hujan-hujan gini emang paling cocok makan pisang!”
“Buahahaha…” tawa memenuhi seisi ruangan, aku juga ikut tertawa ngakak mendengar percakapan bodoh ketiga cowok itu.
“Din, lo gak mau ikutan ngopi di warung depan?”
“gak ah, gue disini aja.”
“gak papa nih lo sendirian?”
“iyee bawel.”
“yakin?”
“iyeh.” Jawabku dengan mantap.
“yakin nih gak mau makan pisang?”
Aku mencari-cari barang terdekat dalam jangkauanku agar bisa melempari Bayu namun dia sudah keburu kabur ke balik tembok.
“yaudah, Din. Entar kita balik kok kalo udah mau jam 12. Atau telfon gue aja ya.”
“sip sip.”
Mereka bertiga pun pergi. Tinggal aku sendirian didalam kamar dengan pintu yang menganga lebar. Dari dalam aku bisa melihat air hujan yang turun dari atas atap dengan begitu derasnya. Karena bosan, aku berjalan keluar kamar lalu duduk di sebuah kursi panjang disamping pintu. Sesekali aku melirik jam tanganku. Aldi tidak mungkin pulang dalam cuaca seperti ini. Akhirnya setelah sekian lama bergumam dalam batin, aku memutuskan untuk menyusul ke warung depan. 
Dengan langkah setengah berlari, aku melewati hujan deras dengan hanya berpayung telapak tanganku sendiri. Penglihatanku tampak kabur dan aku berkali-kali menginjak genangan air dengan tidak sengaja. Aku masih sempat merasakan ketika sebuah cahaya datang dari arah samping ke arahku. Aku masih sempat mendengar suara decitan ban kendaraan dengan jelas didalam telingaku. Berikutnya, semua tampak kabur.
Aku bisa merasakan air hujan menusuk-nusuk wajahku. Semua kedengaran bising namun aku bisa mendengar namaku disebut berulang-ulang kali. Aku bisa merasakan darah segar mengalir dari pelipisku. Dan tiba-tiba saja, semua terasa gelap. Gelap sekali.
Aku kurang begitu ingat apa yang terjadi. Namun saat aku membuka mata, aku melihat Aldi dengan wajah yang cemas di sampingku. Rambut dan sekujur tubuhnya tampak basah. Dia langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Tubuh kami berdua sama-sama basah, namun aku tak mengelak untuk dipeluknya.
“aku sayang kamu, Din.. aku sayang kamu…” kudengar nafasnya yang memburu dan suaranya yang kedengaran merintih. Aku melihat Bayu, Angga, dan Reno sedang berdiri tak jauh dari kami. Wajah mereka bertiga tak kalah cemas-nya dengan Aldi. Tubuh mereka tampak basah seluruhnya. Setelah itu, aku melihat lilin-lilin di lantai yang mulai meleleh dan padam. Aldi melepaskan pelukannya dan menatapku dalam-dalam.
“lilinnya…..”
“aku udah denger ceritanya dari Angga..”
Mata Aldi tampak berkaca-kaca dan aku hanya terdiam pasrah. Dia menggengam tanganku dengan erat kemudian memelukku lagi.
“selamat ulang tahun, Aldi..” bisikku pelan. Bisa kurasakan dekapannya yang semakin erat. “Happy birthday to you.. Happy anniversary, too..”
“Happy anniversary, Din…”
Malam yang larut kian menjelang pagi, dan aku sadar bahwa segala usaha tidak pernah ada yang sia-sia.

story of love

“pacaran meka”
Kata si upay (tapi bukan kamseupay) sahabat gue dan bisa dibilang saudara juga. Dengan wajah yang memerah dia mengakuinya didepan gue dan teman-teman gue yang lain di perjalanan kami menuju kantin kampus. Koridor pun menjadi berisik dengan tawa dan kehebohan kami setelah mendengar berita itu. Finally!
Iya, akhirnya! Itulah yang terbersit dibenak gue dan siapapun yang tau cerita mereka dari awal. Upay dan Eca udah dekat sejak lama. Cerita mereka bisa dinilai begitu berbelit dan alurnya tidak begitu mulus. Awalnya bermula dari kekaguman Upay semata. Ecaa adalah cowok yang good looking dan Upay gak bisa berhenti memuji-memuji nya walaupun awalnya memang hanya sekedar main-main. tapi lama kelamaan rasa itu muncul. Eca waktu itu masih punya pacar. Bahkan pacarannya udah sampe hitungan tahun dan mereka bisa dibilang muka jodoh banget. Tapi Eca dan Upay udah dekat sebagai sahabat. Yang kemana-mana Upay diantar jemput sama Eca, Eca ngedatangin Upay di kosannya, dan sebagainya. Upay waktu itu masih dirundung rasa galau karena belum move on dari mantannya. Dan dengan Eca, setau gue, dia akhirnya bisa ngelupain obsesinya kepada mantannya yang dulu. 
Kedekatan mereka semakin erat waktu gue, Upay, Eca, dan keempat teman gue yang lain berlibur ke pulau Jawa pas liburan semester kemaren. Kita bertujuh berangkat dengan tujuan utama Kediri dan menyempatkan jalan-jalan ke kota Malang, Jogja dan Surabaya. Waktu sebulan yang kita habiskan semakin melengketkan jarak mereka. They tend to look like a couple. Yang paling so sweet yang gue ingat adalah ketika suatu pagi, di dalam kamar sebuah penginapan sederhana dekat Malioboro, mereka berdua berbaring dengan tubuh yang saling memeluk. How sweet. Ke-sweet-an mereka bukan hanya keliatan dari yang unyu-unyu doang, mereka berdua sering banget berantem dan setiap mereka berantem gue dan temen-temen Cuma bisa menonton seolah itu adalah pemandangan yang biasa. Mereka berdua kayak lagi main film full house.
Tapi, mereka belum ber-status pacaran.
Eca udah putus sama pacarnya yang dulu. Pacarnya yang dulu itu juga ternyata udah punya pacar baru lagi. Story of love. Katanya, Eca belum bener-bener melupakan mantannya itu.
Upay kembali dirundung rasa sedih dan mulai uring-uringan sama perasaannya sendiri. Upay adalah sosok melankolis yang suka mikir dalem-dalem dan bikin dirinya sendiri sedih. Dia selalu merasa kurang baik buat si Eca. Namun semua itu tidak lain adalah ketakutannya bahwa dia akan kehilangan Eca. Akan ada orang lain yang ‘mengambil’ Eca dari dia.
Suatu malam, gue mengobrol sama si Upay via BBM. Awalnya kita hanya bercakap-cakap kosong sampai akhirnya kita terbawa arus ke percakapan yang lebih berat.
“yes, my heart is taken by someone who can’t be moved :’)”
“Uuuuuu someday he’ll realize the one that has been there for him all time :’)”
i doubt, cause this isn’t a movie. He never regret anything. Aku bukan siapa2 untuknyaaaaaaaaa”
just enjoy every single time you have with him :)”
“yes i did. HAH! Susahnya cyin.”
“it’s probably not easy.... but it’s not that hard too. *muka serius*”
“saya mau sekali liat ini akhir ceritanya bagaimana”
 “biarka mau bilang apa. Pasti ko tau semua ji. Don’t set expectation too high! Nikmati mi saja setiap kau lagi sama2 dia. Jangan takut bakalan sedihko nanti karena memang kita nda mungkin bahagia terus toh. Nikmatimi saja sekarang, janganko jadi menjengkelkan kalo nda mauko menyesal”
 “alasannya eca nda mau pacaran sm saya karena sama2ka bede keras, selakuka berkelahi tiap ketemu. Saya nda tau nica! Mungkin inimi yang bikinka menyebalkan. Karena setiap saya butuh  sy nda mau bilang. Tp kalo nda ditolong saya nangis. Nangis terusji bisaku. Siapa mau pacaran sama orang cengeng egois plus gengsian. Deeeh sadarja selalu mau berubah tp begitu terusja setiap suka sama orang, selaluka berakhir menyebalkan :’) ciyan.”
“ko memangnya mau pacaran kah? Memangnya hal apa yang dilakukan sm orang pacaran yang ko harapkan ko lakukan sama dia? Begini saja sudah cukup. Makanya sy bilang statusmu ji yg jomblo karena kenyataannya dia sayangko, kau sayangji sama dia. Dan saat ini nda mungkinmi eca mau pacari orang lain.”
“tapi mungkinmi nica. Dia sayangja kayak sodara. Kata2 paling kuhindari sejak hatiku bilang ‘dia orangnya’. Saya nda tau mauku apa tapi saya mauji dia senang. Sy mauji dia tau kalo adaji orang yang care. Sy nda tau apa mauku. Kalo ditanya “mmgnya jadi pacarnyami itu goal ku?” not really. Tapi ya Allah. bingungku hahaha”
“nda mungkinlah. Entah dia sayangko sebagai apapun itu, yang penting nyaman jeko sama posisimu sebagai orang yang disayang sama dia. Sebagai orang yang dijaga sama dia dengan cara-caranya sendiri kayak misalnya marahiko lah, apalah. Apa nda bakal aneh kalo pacaran bertulanko, apa nda bakal ada yang berubah *kotau betulji pasti ini* enjoy the time when he’s around. Jangan takut sedih, jangan selalu merasa nda cukup baik buat dia”
“kadang nda ngertika apa yang saya khawatirkan akhir2 ini. Tapi nda tau selaluka khawatir -_-“
“semuanya akan baik2 saja, insya Allah”
“yes everything is gonna be alright. Huaaaahh nica! Having a heavy conversation tonight. Akhirnya kau bisa balas bbmku panjang2 padahal biasanya cuman “...” :’)”
“hahaha that’s what friends are for. Kadang sy rasa kita punya sudut pandang yang sama dalam menjalani hidup, yaitu terlalu berat. Suka mikir kelewat dalem.”
“iya! Makanya kita nda cocok kalo pacaran, kita cocoknya berteman saja :’)”
“hahaha menurut nganaa”
“hidup jangan terlalu serius, ntar banyak sedihnya. Hah! Semoga cepat mendapatkan jawaban tentang 26nya nica sayang I love you”
Percakapan itu pun berlanjut ke sesi curhat gue. ( ._.)
Jadi, Eca gak mau hubungannya berlanjut lebih dari teman. Dia memiliki ketakutan terhadap hubungan “sahabat jadi cinta” yang biasanya berakhir dengan menyesal. Mereka saling sayang, itu adalah hal yang jelas. Tapi ini adalah soal bagaimana hubungan mereka kedepannya. Upay merasa kalut dan bingung. 
Hari-hari berlalu dan Upay berusaha menjauh dari Eca. 
Semester baru pun dimulai, yang artinya kita sudah masuk kembali di masa-masa penerimaan mahasiswa baru di kampus. Yang dalam artian lain lagi, banyak wajah-wajah baru yang masih fresh yang bakal muncul. Dan saat itulah, Eca jatuh cinta dengan seorang Maba jurusan kami. 
Eca mulai dekat dengan cewek itu. Dan si Upay mulai jarang muncul di kampus. Kayaknya si Upay udah tau kalo Eca lagi dekat sama seorang maba. Kedekatan mereka udah sampe tahap telfon-telfonan setiap saat. 
Akhirnya gue mendengar kabar kalo si Upay juga sedang dekat dengan seorang cowok. Yang bikin gue merasa wah adalah cowok itu sekilas mirip banget sama si Eca. Upay udah mengakui kalo dia sudah merasa biasa-biasa aja sama Eca. (tapi ternyata nangis juga pas liat si Eca lagi dekat-dekat sama cewek lain. ) 
Yah, bukannya selalu seperti itu kan? Perasaan itu seolah sudah tidak ada, sampai kenyataan datang mengundangnya dan kita tidak mampu menahan rasa sakit yang muncul. #okecus
Beberapa minggu yang lalu, Upay ulang tahun. Gue dan temen-temen yang lain ngasih surprise di kosannya dia pas tengah malem. Tentunya ada Eca juga. Gue kaget pas ternyata Eca bawa kado sendiri buat si Upay. Dan ternyata lagi, saat itu ada si Wawan juga, cowok yang lagi dekat sama Upay. Inilah pertama kalinya mereka bertemu setelah beberapa lama berkomunikasi melalui BBM.
Surprise berjalan sesuai rencana dan Upay kaget pas ternyata kita datang membawa Wawan buat dia. Gue bisa ngeliat sendiri bagaimana Eca berusaha mendekatkan Upay dan Wawan. Entah kenapa gue yang malah ngerasa aneh. Gue tau Eca juga pasti punya perasaan yang aneh melihat keadaan yang sedang terjadi. Mungkin Cuma perasaan gue doang sih. 
Berikutnya, Upay banyak mengeluh soal Wawan. Sementara Eca dengan junior gue masih keliatan anteng-anteng aja. Gue masih sering ngeliat Eca menerima telfon yang tentunya udah bisa ditebak pasti dari cewek itu. 
Sampai akhirnya, dengan suatu alur yang sulit untuk diceritakan kembali, Eca dan Upay kembali bicara empat mata. Disanalah akhirnya Upay menumpahkan semua isi hatinya. Upay ngaku kalo dia belum bisa ngelupain Eca. Dan singkat cerita, mereka pacaran setelah Eca memutuskan untuk mengajak Upay pacaran. Kedengaran lucu, tapi memang seperti itu adanya. 
Setelah itu, Eca ngasih tau ke si junior gue kalo dia udah pacaran sama Upay dan dia bilang mereka harus menjauh. Soal wawan? Gue belum tau.
I’m happy for Upay. For them. For their happiness. Semoga mereka selalu bisa menemukan jalan kembali, untuk terus bersama.


deviantart

helow! jadi gue baru bikin akun deviantart.
waktu itu gue sempat ditanya sama seorang senior, gue punya akun deviantart atau ngga, pas dia liat jurnal sketsa gue. sebenarnya gue udah sering dengar sih, tapi baru sekarang terbersit keinginan untuk membuat akun. jadi, kalo mau liat karya-karya gue berupa gambar bisa diliat disini ya :D

http://anisashabrina.deviantart.com


blablablabla

pernahkah kau merasa sesak di dalam dada, seperti ada yang mencengkram paru-paru mu dengan kuat sampai kau merasa begitu sulit bernafas?
pernahkah kau merasa lemas di betis mu, membuatmu lunglai seakan tak mampu menahan berat badanmu sendiri, kemudian kau terjatuh sebab kau tak kuat lagi untuk melangkah lebih jauh?
pernahkah kau merasa sakit di kepala, seolah ada yang membenturkan otakmu ke sebuah batu besar, lalu saat itu pula kau hilang kendali? sakit yang diciptakannya begitu sulit untuk ditahan hanya dengan berpura-pura kuat.
pernahkah kau merasa sekujur tubuhmu kaku dan dingin yang terasa aneh?
pernahkah kau merasakan saat tiba-tiba muncul sebuah gundukan air mata di tepian matamu, lalu ia tumpah sebelum kau sempat berkedip?
pernahkah kau menderita sakit yang sama?

Suatu hari.

Suatu hari, kita pernah bertemu dan saling jatuh cinta
Sesuatu yang tidak pernah kita perkirakan akan terjadi
Kita pernah saling bertemu tatap dan merasa gugup
Kita pernah merasa canggung saat keheningan mengisi jeda percakapan kita di malam hari
Kita pernah saling berbagi keluh, kita pernah saling menghapus peluh
Kita pernah saling mencintai dalam ketidakpercayaan kita atas cinta sebelum kita bertemu.

Suatu hari, kita pernah saling tersenyum dan merasa begitu beruntung
Sebab kehadiran kita masing-masing ternyata saling mengutuhkan
kita pernah saling menggenggam walau tangan kita tengah basah oleh keringat
kita pernah bersama-sama melewati terik matahari yang menyengat
sampai bersama-sama menunggu ketika hujan turun dengan lebat

suatu hari, kita pernah saling mengeratkan peluk
walau hanya dalam beberapa detik yang berharga
kita pernah saling mengakui betapa hangatnya tubuh kita berdua
kita pernah saling mengakui betapa kita ingin terus mengulanginya

suatu hari, kita pernah saling tidak mempedulikan
suatu hari, gengsi bertahta sangat tinggi jauh diatas keberadaan hati kecil kita
suatu hari, ketidakpedulian itu mulai pelan-pelan melukai
kita pernah menunggu dalam rasa pilu sampai kemudian salah satu dari kita mencoba menghampiri

Itulah bagian yang selalu aku tunggu-tunggu

Baikan

Setelah bertikai untuk kesekian kali
Lalu baikan untuk yang kesekian kali juga.

tulisan menjelang tengah malam.

jadi udah 3 hari berturut-turut gue ngepost di blog. hahaha! gak tau kenapa akhir-akhir ini gue ngerasa agak lebih sedikit produktif, terlepas dari soal timeline twitter yang gak pernah gue intip-intip lagi. lagian itung-itung buat menghibur para pembaca blog gue yang setia. (yakali ada)
masih dikamar atas rumah. sendirian. tapi kali ini ditemani oleh lover's game-nya Geographer yang mengalun agak kencang dari speaker komputer, membuat gue menggoyangkan kepala sesekali sambil melantukan part yang gue hafal.
malam ini masih sama seperti malam-malam biasanya.
tidak kelabu, tapi gak ramai juga.
gak ada kata yang bisa mewakilkan suasana ini kayak apa. sama seperti perasaan kita. siapa sih yang tau betul suasana hati kita bagaimana? bahkan waktu gue lagi nulis tulisan ini. siapa yang tau apa yang gue rasain? gue juga gak tau apa yang orang-orang lain sedang rasain sekarang.
dan ketika gue menuliskan "Hahaha!" seolah gue sedang benar-benar tertawa, atau setidaknya sedang gak kenapa-kenapa. tapi siapa yang tau suasana hati kita jelasnya gimana? sedang berantakan kah, atau masih tertata dengan rapi nya.
atau mungkin sedang dalam proses pembenahan.
kita gak pernah tau apa yang dalam isi hati seseorang bahkan ketika dia berhasil membuat sekitarnya tertawa.
kita cuma bisa ber hipotesa, merasa yakin akan hal yang belum pasti.
karena setiap orang punya rahasia-nya sendiri.
sesuatu yang gak semua orang bisa pahami,
bahkan tidak juga dirinya.




(11.30pm, ditulis apa adanya karena sudah dipanggil enyak daritadi buat ke airport)

senja yang abu-abu.

jadi gue baru ngepost kemaren, dan sekarang udah ngepost lagi. biasanya ada jangka waktu yang agak lama antara satu tulisan gue ke tulisan gue yang lain. namun kali ini beda. oke ini emang gak penting. lagian sekarang gue udah gak pernah log-in twitter, makanya gue lebih sering buka blog. (tuh kan dibahas juga..)
oke, gue lagi duduk sendirian didepan PC, di kamar atas rumah sambil ditemenin somewhere only we know-nya Keane yang udah sedari tadi mengudara. langit diluar warnanya abu-abu, dan angin bertiup lumayan kencang. pintu gue biarkan terbuka lebar supaya anginnya bisa masuk dengan leluasa. mungkin aja ada rindu yang dititipkan sama dia kepada angin yang berhembus melalui daun-daun pepohonan itu, untuk gue hirup agar kedepannya gue bisa hidup lebih lama dengan udara yang sehat.
sekarang udah lewat jam setengah 6 sore. senja tak pula nampak. hanya warna abu-abu yang menutupi seluruh wajah langit. menyembunyikan silau cahaya matahari, yang sesekali mengintip seiring awan yang bergerak melaju, menuju arah entah kemana.
namun abu-abu tak pula se-suram itu.
walau karenanya senja jadi tak nampak.
walau karenanya siluet kita jadi gak keliatan.
tapi abu-abu itu teduh.
walau ia tak sehangat senja.
walau abu-abu itu identik dengan gelap.
tapi abu-abu lah yang membentuk sketsa kita, menjadi hidup
karena hidup kita gak selamanya berwarna
tapi bukannya abu-abu itu juga warna?

hidup gak selamanya berwarna cerah, sebab ia kadang pula abu-abu
namun keberadaan senja sudah menjadi hal yang pasti
tak peduli seberapa abu-abu-nya hidup itu sendiri
kita hanya harus menunggu sampai awannya pergi
setelah itu kita bisa kembali menyaksikan senja,
walau di tempat yang berbeda, tapi masih dibawah langit yang sama
menyaksikan senja yang abu-abu
sebab kita sedang tidak bersampingan.



(ditulis dengan tingkat ke-asal-an maksimal)


Perempuan.

Kuliah yang bener, sarjana dengan IP yang memuaskan, melamar kerja, dilamar oleh laki-laki yang dicintai lalu menikah, membangun rumah tangga yang bahagia, punya rumah idaman, dan memiliki anak-anak yang lucu-lucu kayak di iklan susu bebelac. perempuan mana sih yang gak punya impian kayak gitu?
kemaren, gue sempat liat judul sebuah FTV "kutunggu kau di usiamu yang ke 22." kurang lebih kayak gitu. entah kenapa pas ngebaca judul itu gue malah senyum-senyum gemes sendirian. rasanya pasti bahagia banget memiliki orang yang berjanji akan menunggu sampai kita berdua sama-sama tiba di usia kita yang matang. sama-sama menyadari penuh kalo udah bukan umurnya lagi buat pacaran untuk sekedar just having fun.
kemaren lagi, gue gak sengaja nonton salah satu acara TV mengenai lamaran nikah. pertama kalinya gue nonton acara itu, dan pas gue nonton gue cuma bisa ngejerit: aaakkkk!
perempuan mana yang hatinya gak terenyuh dilamar dengan cara yang romantis? oke, perempuan mana yang gak klepek-klepek diromantisin sama pria yang memang dicintainya?

gue cuma perempuan biasa; gue punya banyak rencana masa depan yang sama dengan perempuan-perempuan lainnya. gue pengen cepat sarjana, melamar kerja dan dilamar oleh laki-laki yang gue cintai dan yang mencintai gue.






"..makanya kuliah yang bener, biar cepat sarjana, terus kerja, terus cari saya yah."
"siap!"

Tulisan biru

Jadi ceritanya, gue lagi galau. Oke, ralat. Gue lagi sangat galau. Ya galau itu wajar sih, selama gak nyilet-nyilet tangan sampe berdarah-darah terus difoto dan dijadiin display picture.

Perasaan ini memang bener- bener menyiksa. Rasanya, melangkah aja berat. Bicara aja rasanya suliiit banget (kebetulan pas lagi galau, lagi sakit gigi juga). Rasanya gak ada gairah buat ngapa-ngapain.  pas lagi ngapa-ngapain, malah gak fokus. Perasaan ini jadi bikin kita uring-uringan plus gak karuan.

Galau udah jadi penyakit lumrah bagi seluruh umat manusia. Gue tau bukan Cuma gue di dunia ini yang sedang menderita penyakit ini. Tapi rasanya tetap gue satu-satunya penderita paling akut sejagat raya. “slow, slow” kata seorang teman melihat betapa “berantakan” nya gue akhir-akhir ini. Gue cuma bisa narik nafas panjang-panjang. Gue pengen slow aja, tapi setiap detik rasanya pengen ngejerit sekencang-kencangnya.

Kayaknya gue gak bakal cerita detail­-nya apa yang bikin gue segalau ini. Intinya, gue cuma lagi kangen sama orang yang udah-gak-sepeduli-dulu-lagi sama gue. Tapi sejauh ini, we’re still in a relationship.

Berbagai advices mulai dilontarkan dari temen-temen. Gue ingat kemaren pas gue lagi duduk bengong dan tiba-tiba temen gue bilang ”udahhh, sms aja langsung” kemudian diikuti dorongan-dorongan dari temen-temen gue yang lain untuk ngehubungin dia duluan.

Gue Cuma bisa senyum miring.

Berbagai macam pemikiran mulai beradu dalam otak. Pemikiran-pemikiran itu memenuh sesakkan otak gue, saling tabrak-tabrakan, makanya gue sering ngerasa agak-agak pusing kepala. Kalo dia juga kangen sama gue, pasti dia ngehubungin gue duluan; pasti sudah sejak lama dia ngajak gue ketemuan, apalagi sekarang ini kesempatan sedang banyak-banyaknya. Kita sedang berada di kota yang sama. Tapi rasanya tetap jauuuh sekali.

Selalu ada momen dimana ketika gue sedang melakukan sesuatu hal dan tiba-tiba gue teringatkan sama dia dan gue tiba-tiba aja bengong dan sibuk sendiri dengan ingatan-ingatan itu. Gue ingat pas gue lagi duduk-duduk dalam rumah dan tiba-tiba ada suara kembang api dan gue buru-buru nyari dimana asal suaranya. Gue pun duduk di lantai balkon sambil ngeliatin warna-warni kembang api yang berhamburan di langit. Lagi-lagi sebuah ingatan muncul. Gue ingat persis tahun lalu, juga di malam lebaran kayak kemaren, gue dan dia sama-sama menyaksikan kembang api di daerah pantai. Gue ingat waktu itu dia ngetawain gue karena gue berkali-kali kaget sama suara letusan kembang api yang tiba-tiba. Kalo diinget-inget konyol juga. Haha. Gue ingat sebelum kita pulang dari sana, pas gue lagi masang helm, dia sempat mengutarakan isi hatinya, untuk kesekian kalinya, yang waktu itu Cuma gue balas dengan senyum.

Kembang apinya udah daritadi berhenti. Dan gue masih diam ditempat yang sama. Terlalu banyak kenangan antara gue sama dia dan terlalu banyak hal yang bisa membangunkan kenangan-kenangan itu. Entah kenapa ya setiap kita lagi galau, setiap tempat dan segala hal sontak membawa energi yang begitu kuat dari cerita-cerita masa lalu. Gue sadar ini terlalu menyedihkan dan gue gak mau terus-terusan membiarkan gue larut dalam sedih berkepanjangan. Gue emang sayang sama dia, tapi dia? Gue selalu berusaha meyakinkan diri gue kalo masa sulit ini pasti bakal lewat. Gue pernah ngalamin suasana yang serupa dan ujung-ujungnya ternyata lewat juga, walaupun emang makan waktu yang gak cepet. Gue tau gak ada gunanya untuk terus menerus mengenang cerita yang pernah ada. Gak ada gunanya berharap waktu yang sudah lewat akan bergulir kembali. Toh gue udah usaha. Kemaren gue udah coba untuk ngehubungin dia sebab ada satu rasa yang gak pernah bisa gue pungkiri: kangen. Gue terlalu kangen sama dia. Semakin gue merenungi keadaan ini semua, gue sadar kalo gue hanya sangat mencintai laki-laki ini.

Waktu itu gue lagi rame-rame sama temen-temen di jalan, dan sepanjang jalan itu temen-temen ngasih banyak wejangan ke gue. Sampe tiba-tiba seorang temen gue bilang “kalo sayang kok gengsi”, dan saat itu hati gue bagai terpompa. Akhirnya gue memberanikan diri buat ngetik sms ke dia “i miss you..” dan butuh waktu 5 menit-an sampe akhirnya gue berani mencet tombol send. Dan lo tau balasannya apa? Ah sudahlah.

Berhari-hari gue habiskan dengan memikirkan, sebenarnya apa yang salah. Apa gue ada salah yang gue gak tau. Apa gue pernah salah ngetweet kali ya. (?) berhari-hari pula gue ngilang dari peredaran. Gini deh orang galau, bisanya Cuma lari dari kenyataan. Gue sengaja untuk “menghilang” karena gue gak mau kelihatan terlalu rapuh dimata orang-orang. Gue gak mau sampe dia nyinyirin twit-twit galau gue yang semua emang ditujukan buat dia. Makanya gue pilih gak ngetwit apa-apa soalnya tiap ngetwit pembahasan gue pasti kebanyakan soal dia doang. Gue gak mau sampe gue ngetwit semacam “gara2 liat kembang api, aku jadi ingat dia :’(“ terus ngeganti location di twitter jadi: “di masa lalunya.

Itu terlalu kelewatan.

Sekarang gue ngerasa kayak ditusuk tepat di jantung dan pisaunya ditarik sangat pelan-pelan, bukannya ditarik sekali lepas. Rasa sakitnya benar-benar terasa. Sakit banget.
Rasanya juga kayak gue ditinggalin di tepi jurang sama dia. Sendirian. Dan lama-lama dia datang Cuma buat ngedorong gue jatuh ke bawah. Ah.

Gue tau gue gak cantik, apalagi seksi. Jauh. Gue gak secantik artis-artis korea apalagi se-seksi personilnya sistar19. gue tau gue gak bisa meliuk-liukkan badan se-asoy mereka, karena gue tau jadinya gue Cuma bakal keliatan kayak ulat bulu yang kesirem teh panas. Kadang gue pikir kayak gitu; mungkin karena gue gak bisa jadi apa yang dia mau. Sebuah pemikiran yang gue sadar emang bener-bener tolol. Tapi entah kenapa gue masih sering mikirin itu dalem-dalem. Dia pernah bilang, secapek apapun dia sama tingkah gue, dia tetap akan selalu sayang sama gue. Mungkin sekarang dia udah terlalu capek. Saking capeknya, mungkin dia butuh istirahat; yaitu dengan menjauh dari apa yang udah bikin dia secapek itu.  

gak tau sampe kapan gue harus nunggu sampe dia pulih. mungkin sampe gue menyerah suatu saat nanti.

Greatest day of the year.

I thank God for every single breath that I take until now so I still be able to feel the love by people whom I really love too.



well, saya udah lupa kapan terakhir kali saya merasa sebahagia ini waktu ulang tahun. 
Terakhir ulang tahun saya yang 'wah' itu waktu kelas 2 SMP. Waktu itu dikerjain abis-abisan, bahkan ngerjainnya niat banget sampe-sampe dari seminggu sebelumnya saya udah 'dijauhin massal' sama temen-temen. Saya masih ingat waktu saya dihakimin didepan kelas dan ternyata saya dikerjain, terus dikasih jaket sebagai kado ulang tahun. 
I miss that kind of feeling, and right about a month ago, i finally felt the same way again.

16 April 2012, greatest day of the year..

Percayalah, buat anda yang penasaran seperti apa rasanya surga kelak, sedikit banyaknya anda bisa membayangkannya dengan mencoba kue ini. 



Hahahaha, ini kado dari temen-temen yang beberapa diantaranya sebenarnya merupakan semacam 'paksaan' dari saya sendiri :P
Bisa dilihat sendiri diatas meja itu ada STNK sama kunci motor. Jadi, sekitar seminggu sebelum saya ulang tahun saya udah bikin semacam list yang isinya itu setiap orang beliin saya satu kado. Ada yang saya minta beliin baju, celana, dompet, headset, sampe motor pun saya minta. HAHAHAHA (this is just once a year)
Sebenarnya pas ngeliat kado sebanyak ini saya ngerasa sangat-sangat-sangat membebankan mereka karena saya tau setelah ulang tahun saya, mereka semua mendadak bangkrut. :3

Inilah mereka semua, teman-teman yang saya cintai dan saya banggakan, yang muncul di depan pintu rumah saya tepat pukul 12:


I love you all, guys. Fahmi, Amal, Dede, Upay, Fikhi, Yudha, Akram, Echa, dan juga Atto' yang motoin kita.

Kebahagiaan belum berakhir..



Another surprise. 
Waktu itu saya keluar lamaaa banget buat ketemu sama Vanni yang besoknya mau ke Jakarta. Pas saya masuk kelas, saya disuruh keluar sama si bapak dosen. Eh tiba2 ditanyain ini tanggal berapa, dan kemudian teman-teman dari kelas sebelah masuk sambil bawa kue dan ngasih kado. :')

that was so surprising. :')

Berikut, I captured them from my birthday greeting videos.


lots of love, gengs!

Blablabla.

Saat itu senja. Diatas kita terpapar langit bercorak merah muda. Aku sedang duduk dibelakangmu, diatas jok motor yang sama, bersenandung kecil sambil memperhatikan punggungmu yang tegap. Kita berdua tak berbincang banyak. Hanya matamu yang sesekali berbicara dari kaca spion. Sementara roda motormu terus berputar menyusuri jalanan kota, diantara lalu lalang kendaraan lainnya- yang entah menuju kemana.

Senja telah berlalu. Aku sedang berjalan mendahuluimu menuju sebuah toko buku.
Aku masih ingat bagaimana kita selalu berdebat untuk hal-hal kecil yang seharusnya tak perlu diperdebatkan. Bahkan mengenai siapa diantara kita yang harus berjalan lebih dulu saat sedang jalan bersama. Padahal kita berdua tahu, harusnya kita cukup berjalan beriringan saja. Namun tabrakan bahumu ke bahuku selalu membuatku merasa gugup, dan aku tetiba saja merasa tak enak badan.

Tiba saat aku sedang duduk disampingmu. Didalam sebuah ruang bioskop bersama sebungkus popcorn caramel yang kau belikan untukku tanpa aku minta. Kita berdua masih tak berbincang banyak. Yang kuingat, kau selalu menegur saat aku terus-terusan mengecheck handphone. Aku bisa merasakannya, saat kau memalingkan pandanganmu kearahku- setiap kali aku mulai mengecheck handphone yang sedari tadi kugenggam. Namun aku terus mengacuhkan pandanganmu itu hingga akhirnya kau mengusulkan untuk keluar sebab kau tau bahwa aku juga merasakan apa yang kau rasakan: filmnya sama sekali tidak menarik. Lalu kita melangkah keluar sambil tertawa-tawa, juga tak henti berdecak: film apa yang kita tonton barusan?


Aku masih ingat, ditengah jalan pulang. Aku berlindung dibalik punggungmu ditengah udara yang dingin. Udara malam ini tak sesegar udara pagi, namun aku merasa damai setiap kali udara ini membelai tengkuk ku. Sampai aku sadar bahwa jarak ku kini begitu dekat dengan jarakmu- bahkan aku bisa mencium wangi dari pakaian yang kau kenakan itu. Ah, tiba-tiba saja aku tak ingin cepat-cepat sampai rumah..

Aku masih ingat sesampainya kita didepan rumahku. Suara ban motormu yang berdecit dan aku turun seraya melepaskan helm dan memberikannya padamu.

Aku masih ingat senyum itu.
Aku pun masih ingat bahwa aku melupakan buku yang tadi kau paksa untuk kau belikan saat di toko buku.
Aku masih ingat saat kau kembali secepat itu.
Aku masih ingat saat semudah itu untuk memintamu kembali, untuk sebuah buku yang kelupaan.

Masihkah semudah itu untuk memintamu kembali?
untuk sebuah janji yang kelupaan, mungkin?

Tak mudah lagi untuk memintamu pulang.
Lalu kuputuskan untuk membiarkan hal-hal yang kelupaan itu menjadi milikmu.

A place called home.

Setiap orang adalah rumah bagi orang yang mencintainya. 
seberapa jauhpun kita pergi, rumah adalah tempat dimana akhirnya kita akan kembali.
rumah adalah tempat dimana kita bisa merasa aman, nyaman.
rumah adalah tempat dimana kita bisa menukarkan lelah dengan rasa lega.
iya, setiap orang adalah rumah bagi orang yang mencintainya.
sebuah tempat dimana kita bisa merasakan kehangatan, yang tak mampu ditawarkan oleh tempat lain. sekiranya, tak sehangat rumah sendiri.
kadang rumah itu tak berpenghuni. sepi. dan kita seringkali merasa ada yang hilang.
kita juga sering merasa ingin minggat dari rumah.
ada saat dimana kita mencoba melarikan diri, dan ternyata tak berani
untuk pergi dalam waktu yang lama, untuk pergi dalam jarak yang jauh
sebab tak peduli seberapa jauhpun kita pergi, rumah adalah tempat dimana akhirnya kita akan kembali, lagi

seperti itulah kiranya, saya tak mampu berada cukup jauh darimu.
sebab kamu adalah rumah, bagi saya; orang yang mencintaimu
ada saat dimana saya merasa kurang nyaman dan kurang bahagia
namun rumah itu selalu tetap hangat, oleh kenangan
oleh memori yang telah kau tanamkan di setiap sudut-sudutnya
oleh kebahagiaan, oleh tangis, yang tak semua orang bisa berikan
apalagi jika itu dari dirimu


ada saat dimana kamu meninggalkan rumah itu dalam keadaan kosong
meninggalkan saya sendirian
namun saya tetap memilih untuk tinggal, membenahi ruang-ruang yang berantakan


ada saat dimana kamu pergi begitu lama 


dan saya selalu setia,
menunggu kamu pulang..

catatan kecil di sebuah sore.

langit yang nyaris senja. angin yang berhembus dengan hati-hati. cahaya surya yang menguning, menyeruak masuk dari pintu yang setengah terbuka. menambah kesan hangat suasana, ditambah lagu-lagu ringan yang beralun; menari-nari.
singkat saja, semua ketenangan ini tak pernah bisa benar-benar lengkap tanpamu.
lebih jelasnya, aku merindukanmu. seperti biasanya.
iya, seperti biasanya. biasanya aku selalu merindukanmu.
aku rindu berada diatas jok motor yang sama denganmu. berceloteh tentang apa saja. memperhatikan wajah mu dari kaca spion. memperhatikan setiap mimik wajahmu, terus menerus.
juga wangi dari pakaian yang kau kenakan, yang memanjakan indera penciumanku sepanjang jalan.

aku rindu matamu, yang menyipit setiap saat kamu tertawa.
aku rindu tawa itu juga.

aku rindu menunggu hujan reda, bersama kamu disampingku.
hujan tak pernah keliatan seribu kali lebih indah dibanding ketika kita bersama.
aku ingat saat kita tengah menunggu dan kamu bilang, "semoga hujannya berakhir lebih lama." aku tertawa, kamu tertawa.
dan aku diam-diam memperhatikan mata mu.

aku rindu berada di satu meja yang sama denganmu. melangkah ke tempat makan dan duduk di tempat biasanya.

aku rindu lirikan-lirikan kecilmu.
aku rindu melirik-lirik kecil kearahmu.

aku rindu memperhatikanmu yang sedang tak melihatku.
lalu kamu menoleh.
dan kita saling tersenyum. lalu mengutarakan isi hati. lagi.

aku rindu membenamkan diri di pelukanmu. saling memeluk bagai tak pernah ingin kehilangan, satu sama lain.
aku rindu dengan aroma mu yang seringkali tertinggal bersamaku.

aku rindu saat kita bersama.
aku rindu menghabiskan waktu yang kupunya, denganmu.

itu saja.