Saat itu senja. Diatas kita terpapar langit bercorak merah muda. Aku sedang duduk dibelakangmu, diatas jok motor yang sama, bersenandung kecil sambil memperhatikan punggungmu yang tegap. Kita berdua tak berbincang banyak. Hanya matamu yang sesekali berbicara dari kaca spion. Sementara roda motormu terus berputar menyusuri jalanan kota, diantara lalu lalang kendaraan lainnya- yang entah menuju kemana.
Senja telah berlalu. Aku sedang berjalan mendahuluimu menuju sebuah toko buku.
Aku masih ingat bagaimana kita selalu berdebat untuk hal-hal kecil yang seharusnya tak perlu diperdebatkan. Bahkan mengenai siapa diantara kita yang harus berjalan lebih dulu saat sedang jalan bersama. Padahal kita berdua tahu, harusnya kita cukup berjalan beriringan saja. Namun tabrakan bahumu ke bahuku selalu membuatku merasa gugup, dan aku tetiba saja merasa tak enak badan.
Tiba saat aku sedang duduk disampingmu. Didalam sebuah ruang bioskop bersama sebungkus popcorn caramel yang kau belikan untukku tanpa aku minta. Kita berdua masih tak berbincang banyak. Yang kuingat, kau selalu menegur saat aku terus-terusan mengecheck handphone. Aku bisa merasakannya, saat kau memalingkan pandanganmu kearahku- setiap kali aku mulai mengecheck handphone yang sedari tadi kugenggam. Namun aku terus mengacuhkan pandanganmu itu hingga akhirnya kau mengusulkan untuk keluar sebab kau tau bahwa aku juga merasakan apa yang kau rasakan: filmnya sama sekali tidak menarik. Lalu kita melangkah keluar sambil tertawa-tawa, juga tak henti berdecak: film apa yang kita tonton barusan?
Aku masih ingat, ditengah jalan pulang. Aku berlindung dibalik punggungmu ditengah udara yang dingin. Udara malam ini tak sesegar udara pagi, namun aku merasa damai setiap kali udara ini membelai tengkuk ku. Sampai aku sadar bahwa jarak ku kini begitu dekat dengan jarakmu- bahkan aku bisa mencium wangi dari pakaian yang kau kenakan itu. Ah, tiba-tiba saja aku tak ingin cepat-cepat sampai rumah..
Aku masih ingat sesampainya kita didepan rumahku. Suara ban motormu yang berdecit dan aku turun seraya melepaskan helm dan memberikannya padamu.
Aku masih ingat senyum itu.
Aku pun masih ingat bahwa aku melupakan buku yang tadi kau paksa untuk kau belikan saat di toko buku.
Aku masih ingat saat kau kembali secepat itu.
Aku masih ingat saat semudah itu untuk memintamu kembali, untuk sebuah buku yang kelupaan.
Masihkah semudah itu untuk memintamu kembali?
untuk sebuah janji yang kelupaan, mungkin?
Tak mudah lagi untuk memintamu pulang.
Lalu kuputuskan untuk membiarkan hal-hal yang kelupaan itu menjadi milikmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar