Short Term 12 (Destin Daniel Crelton, 2013)

Saya pernah mendeskripsikan kepada seorang teman bahwa menonton film itu ibarat menempati tubuh orang lain, dan keluar dari sana dengan perasaan yang aneh. Seperti mimpi disaat tidur, semua terjadi dengan begitu cepat – bahkan rasanya hampir tidak dialami sama sekali. Juga sama halnya seperti mimpi, selalu ada potongan-potongan yang tertinggal di pikiran dalam waktu yang relatif lama. Ajaib bagaimana sebuah karya – dalam hal ini yang berbasis audio visual – bisa menjawab kegelisahan sekaligus mengantarkan pada pertanyaan-pertanyaan baru. Barangkali, kita memang butuh merasa bingung dulu sebelum sampai pada titik memahami bahwa ternyata kebingungan itu lah yang kita butuhkan untuk dapat bergerak, dan itu yang menjadikan kita sebagai sebuah entitas. Kita harus terus bingung dan bertanya-tanya untuk bisa benar-benar paham – sekalipun dari tanda-tanda kecil yang muncul diantaranya. Dan meskipun kita tidak akan pernah menemukan jawaban yang mutlak dari semua kebingungan yang selalu kita coba sembunyikan.


Pengalaman pribadi adalah dasar paling umum seseorang dalam berkarya. Tentu, akan lebih mudah menceritakan sesuatu berdasarkan kejadian yang sudah dialami dibandingkan dari imajinasi. Begitu pula Destin Daniel Crelton saat dia menulis cerita untuk film Short Term 12, yang berdasarkan pada pengalamannya bekerja di sebuah fasilitas kelompok untuk remaja. Melalui karya filmnya itu, dia menawarkan wacana tentang trauma psikis dan sebuah kehidupan yang dijalani bersama dengan satu emosi yang mendominasi, yaitu trauma tersebut. Perdebatan batin yang timbul tenggelam digambarkan secara rapi, sehingga siapapun yang pernah atau sedang mengalami pergejolakan yang sama dapat larut dalam emosi yang tergambar dalam filmnya.

Cerita berawal dari pameran utama yang adalah seorang perempuan muda, menjalani hari-hari bersama kekasih dan rekan kerjanya dengan mengurusi remaja-remaja bermasalah di sebuah rumah kelompok. Situasi itu mengantarkan ia pada pertemuan dengan seorang remaja perempuan – yang seakan hadir untuk menjadi cermin dimana ia bisa melihat gambaran dirinya sendiri di masa lalu. Kedekatan emosional antara keduanya terbangun melalui sesi-sesi obrolan yang melibatkan kisah pribadi – bahkan dari sisi yang paling gelap. Kesamaan-kesamaan pengalaman, cara pandang, hingga minat, menjadi beberapa dari sekian alasan untuk kedua tokoh ini semakin memahami satu sama lain. Dengan jelas, Destin memperlihatkan bagaimana kesamaan menjadi kunci dalam mengatur pola cerita dari film ini. Di kehidupan nyata, kesamaan adalah variabel yang paling mungkin menghubungkan antara dua atau lebih manusia. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kesamaan itu justru akan menyederhanakan hubungan itu sendiri, atau malah memperrumit?

Di akhir film, diperlihatkan bagaimana si tokoh utama akhirnya mampu berdamai dengan ketakutan-ketakutan yang selama bertahun-tahun mengisi semesta pikirannya. Tangis harunya pecah saat ia menatap sebuah layar monitor – bersama dengan sang kekasih dan seorang dokter kandungan – yang memperlihatkan kondisi janin yang sementara bermukim di dalam tubuhnya. Apabila si tokoh utama ini seakan bercermin pada si remaja perempuan yang muncul hampir di sepanjang film tadi, maka saya pun merasa kehadiran tokoh utama ini merefleksikan perjalanan yang sedang saya lalui. Serentetan pertanyaan pun muncul setelah menyaksikan film ini. Misal, bagaimana harusnya keterbukaan itu diciptakan dalam konteks hubungan? Atau apa yang harus dilakukan dalam proses mengaburkan luka mental, sekalipun itu tidak akan pernah benar-benar kabur? Bagaimana untuk menguatkan diri sendiri ditengah ketidakpercayaan terhadap banyak hal? Bahkan setelah bertahun-tahun telah lewat sejak saya pertama kali menonton film ini, saya juga belum menemukan jawaban yang mutlak dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun ada banyak tanda-tanda yang saya temukan diantara kebingungan – yang sedikit demi sedikit membuat saya paham tentang hidup secara garis besar.

Suatu hari di bulan Mei di tahun 2018, sebuah status di Twitter memancing saya untuk merespon.

“Film apa yang pernah kamu tonton, yang mampu membantu memulihkan luka batinmu ... yang berhasil melelehkan hatimu?”

Lalu, saya menjawab dengan dua buah kalimat beserta dengan sebuah poster film.


"ada beberapa sih. tapi yang langsung terlintas di kepala itu Short Term 12."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar