Memiliki ingatan yang kuat bagi saya merupakan berkah, sekaligus sebuah kutukan. Saya tidak tahu pasti sejak kapan saya menyadari bahwa saya memiliki kemampuan untuk mengingat kembali partikel-partikel masa lalu dengan nyaris selalu akurat. Partikel tersebut bisa berupa warna, aksara, waktu yang spesifik, hingga ke wujud suatu benda. Suatu hari, saya asal menceritakan ke Mama tentang momen saat saya pergi ke mesjid untuk mengaji. Usia saya waktu itu sekitar 5 tahun. Saya, bersama dengan tetangga sebelah rumah yang usianya sebaya, berangkat ke mesjid yang tidak begitu jauh dari rumah kami dengan berjalan kaki. Ketika saya menyebutkan warna pakaian yang saya kenakan—yaitu hijau tua dengan sentuhan metalik—Mama tampak agak heran dan cenderung tidak percaya. “Betul itu.” Sebelumnya, dia bertanya, “Kenapako bisa ingat?” “Kenapa bisa ingat?”
Percakapan itu berhenti disitu. Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan pada bagian saat Ibu yang tinggal dua rumah dari rumah kami menyapa saya dan tetangga sebaya yang berada dalam setelan pakaian muslimah masing-masing ketika kami berjalan melewati depan rumahnya.
“Cantiknya!” Ucapnya disela aktivitas menyapu halaman rumah di sore hari sambil melihat ke arah saya yang mengenakan pakaian berwarna mentereng. Respon itu sebenarnya tidak membuat saya senang. Karena sejujurnya, saya merasa tidak percaya diri dengan pilihan warna pakaian hijau tua metalik. Bahkan sekarang, kecil kemungkinan saya akan muncul dengan warna itu.
Kini, lebih dari 20 tahun kemudian, sebuah rutinitas kembali mengingatkan saya akan cerita masa kecil. Dua tahun terakhir, setiap akhir pekan, saya mengunjungi pasar yang terdekat dengan rumah. Meskipun dekat, saya masih harus menggunakan kendaraan untuk sampai kesana, yang kurang lebih memakan waktu 15 menit. Bisnis rumahan yang ditekuni oleh keluarga saya membuat intensitas kunjungan saya ke pasar menjadi meningkat. Biasanya, kakak perempuan saya akan membangunkan saya pagi-pagi sekali dengan cara yang agak sedikit menjengkelkan, yaitu menggoyang-goyangkan tubuh saya setiap beberapa menit. Hal itu seringkali membuat saya kesal, namun seringkali juga saya dibuat kalah dengan pemikiran bahwa ketika kakak perempuan saya marah, maka tidak akan ada kesempatan kedua — setidaknya di hari itu.
Photo is taken by me |
Pasar adalah tempat yang Mama kenalkan semenjak saya kecil, dan akan selalu familiar sampai nanti. Kami sekeluarga sangat jarang mengunjungi pusat perbelanjaan, atau ke restoran bersama-sama. Hal itu tidak pernah sama sekali menjadi masalah buat saya, bahkan hingga saya beranjak dewasa. Dulu, perjalanan ke pasar adalah salah satu perjalanan yang paling menyenangkan, sekaligus memakan waktu. Saya dan Mama, harus menaiki becak tradisional yang akan mengantarkan kami hingga ke gerbang kompleks. Lalu setelah kami menyebrang, kami harus menunggu angkutan umum yang sesuai dengan tujuan. Biasanya di tengah proses menyebrang, beberapa angkutan umum akan berhenti dan menunggu sampai calon penumpangnya tiba di seberang jalan—sekalipun calon penumpang itu sudah lebih dulu memberi tanda penolakan dengan gelengan kepala atau lambaian tangan. Nampaknya, dalam hal kegigihan, kita harus banyak belajar dari supir angkutan umum.
Di tahun itu, atau pada tahun 2000an awal, pete-pete adalah pilihan transportasi paling populer di kota Makassar. Angkutan umum dengan ciri khas warna biru itu adalah saksi bisu perkembangan kota yang saya tinggali sejak lahir ini. Apabila ditanya soal cerita menarik tentang pete-pete, tentu saja saya sama sekali tidak perlu berfikir keras. Mulai dari ketiduran di bahu penumpang lain, berada dalam pete-pete di tengah kemacetan dari sore hingga malam hari, sampai nyasar sendirian hingga ke terminal. Yang terakhir ini bahkan terjadi ketika saya sudah duduk di bangku SMA.
Kembali ke pembahasan mengenai pasar. Salah satu dari cerita lain saya bersama pete-pete adalah perjalanan ke pasar bersama dengan Mama. Seperti penumpang pada umumnya, saya akan menempati bangku yang kosong saat menaiki angkutan. Namun, ketika angkutan nyaris dipenuhi oleh penumpang, Mama biasanya akan langsung menyuruh saya pindah ke pangkuannya. Sebagai anak kecil, saya memahami bahwa entah seberapa banyak ruang kosong yang tersisa di bangku penumpang, si supir akan tetap melirik dari kaca spion tengah untuk memastikan dimana saya duduk—entah menempati kursi, atau di pangkuan. Biasanya, saat sudah cukup merasa diperhatikan, Mama dengan suara lantang akan memberi tahu si supir, “bayarji ini, Pak!” ucapnya, merujuk kepadaku. Saya mempelajari bahwa salah satu kekhawatiran supir angkutan umum adalah keberadaan seorang anak kecil yang akan membuatnya kehilangan sejumlah nominal biaya angkutan untuk satu orang dewasa—apabila ia tidak dipangku.
Di pasar, berbagai jenis manusia berkumpul. Dari anak kecil, orang tua, ibu-ibu, remaja, sampai manusia lanjut usia. Dari yang gigih dalam menawar dan tidak ingin ditawar, sampai yang pasrah sejak harga pertama disebutkan. Dulu, saya hanya akan diam mengamati saat proses tawar menawar berlangsung. Sekarang, sebelum Mama sempat mengucapkan sepatah kata di depan penjual, biasanya saya sudah lebih dulu ingatkan, “jangan ditawar, nah.” Apalagi kalo penjual yang disambangi adalah orang tua.
Saya melihat pasar tidak hanya sebagai tempat bertransaksi, maupun tempat sekelompok orang berkumpul. Lebih dari itu, sebagai anak yang tumbuh dan dibiasakan dengan lingkungan pasar, saya melihat tempat itu sebagai ruang untuk belajar—baik dalam hal merawat empati, menjalin interaksi yang berkelanjutan, serta memahami keberagaman. Di kunjungan terakhir ke pasar, saya dibuat tertegun ketika penjual ikan langganan keluarga saya berkata ke kerabatnya saat saya datang, “adami Ibu.” karena saya merasa masker yang saya dan Mama kenakan membuat kami agak susah dikenali. Hal-hal sederhana seperti itu, yang selalu membawa rasa haru—sebuah penanda bahwa hati ini masih bekerja dengan baik.
Sedikit banyak, pasar adalah salah satu tempat dimana inspirasi bertebaran—di langkah-langkah kaki yang tersendat-sendat, kantong-kantong yang dibawa yang melebihi jumlah tangan, suara-suara pedagang yang menyimpan harap, serta segala peluh dan syukurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar