Pagi itu adalah salah satu diantara banyak
pagi yang saya jalani tanpa tidur sebelumnya. Setelah men-cap diri sebagai kaum
nocturnal, hal ini merupakan sesuatu
yang biasa- mengingat saya memang sudah terbiasa mengerjakan segala sesuatunya
dari mulai tengah malam sampai saat dimana adzan subuh terdengar samar-samar
dari kejauhan. Biasanya waktu tersebut saya habiskan dengan menarik-narik
garis menggunakan pensil diatas kertas gambar. Atau mungkin hanya sekedar
berbaring di dalam kamar dengan lagu yang dibiarkan mengalun di telinga walau
tidak betul-betul didengarkan. Tapi kali ini adalah pagi yang berbeda. Saya
tidak sedang berbaring di atas kasur di dalam kamarku yang sederhana. Tidak ada
jendela dengan gorden bermotif bunga-bunga berwarna merah muda. Tidak ada gitar
dengan senar pertama yang putus. Tidak ada sketsa-sketsa yang tertempel di
dinding. Serta tidak ada lukisan asal-asalan di tembok dekat jendela yang
terbuat dari cat air.
Rasanya saya baru memejamkan mata selama 15 menit ketika tiba-tiba soundtrack ‘dragon ball’ terputar dengan kencang,
menandakan bahwa ada sebuah panggilan masuk di telfon seluler ku. Saya yang
saat itu sedang berada dalam posisi tengkurap, langsung meraih handphone yang berada di dekat bantal kepala, lalu
mengangkat panggilan masuk tersebut dan mencoba berbicara dengan nyawa yang
belum terkumpul dengan sempurna, “halo?”
Lawan bicara saya di telfon saat itu adalah
tante saya sendiri, yang sedang berada di luar kota. Menelfon-saya-setiap-pagi
sudah menjadi rutinitas nya selama papa masuk rumah sakit dan dia sedang tidak
berada di Makassar. Suaraku yang kedengaran serak dari ketika saya pertama kali
bersuara di telfon langsung membuatnya bertanya, “sakit ko nak?” nada bicaranya
yang terdengar khawatir begitu membuat hatiku terenyuh. Setelah mendehem pelan,
saya lalu menjawab, “tidak. Baru ka bangun.” Yap, bangun dari tidur yang hanya
berdurasi beberapa menit. Setelah itu, seperti biasa, dia menanyakan bagaimana
kondisi papa dan menjanjikan kedatangan dirinya di keesokan hari.
Setelah sambungan telfon itu berakhir, saya
lalu berjalan mencari pemandangan di depan jendela. Tentunya setelah
menjelaskan kepada papa apa yang baru saja tante saya tanyakan di telfon. Di
luar jendela terdapat pemandangan taman rumah sakit dengan genangan air
dimana-mana. Ternyata semalam turun hujan. Selama di rumah sakit, saya tidak
pernah sadar akan hujan kecuali melihatnya sendiri melalui jendela.
Sebelumnya, sekitar jam tiga dini hari di hari
yang sama, saya sedang asik menarik-narik garis di selembar kertas dalam buku
sketsa ku, sambil sesekali melihat ke tempat tidur pasien- memindahkan objek
yang ditangkap oleh mata ke dalam selembar kertas dalam bentuk arsiran pensil.
Papa tampak tertidur, atau mungkin lebih tepatnya sedang berpura-pura tidur.
Beberapa hari beliau mengalami kesulitan untuk tidur dikarenakan rasa sakit
yang mendera bagian perutnya, sehingga dia sering tampak gusar dan gelisah.
Papa sedang terbaring di atas tempat tidur, begitupun dia didalam lukisan
sketsaku. Tak beberapa lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu, lalu
seorang dokter jaga masuk ke dalam kamar dan menghampiri papa. Ternyata papa
baru saja memencet tombol pemanggil perawat yang berada diatas tempat tidur
pasien. Dokter jaga yang saat itu datang memenuhi panggilan pasien nya adalah
seorang perempuan berjilbab yang tampaknya sangat alim. Dia bahkan tampak
seperti seorang udztadzah dengan jilbab yang menjuntai menutupi pakaian yang ia
kenakan. Dengan nada yang sangat lembut, ia bertanya, ‘kenapaki pak?’ lalu
papa, dengan suara setengah merintih, menjawab bahwa rasa sakit di sekitar
perutnya benar-benar membuatnya susah tidur.
Setelah obrolan singkat yang menyisakan
konklusi bahwa papa harus menunggu dokter yang menangani papa untuk menganjurkan
resep yang seharusnya, akhirnya papa terus terjaga sampai pagi tiba- sambil
memejamkan mata sembari menunggu kantuk membawanya ke dunia mimpi.
Hari itu saya terbangun sekitar jam satu siang,
tepat ketika mama dan salah satu adik saya datang. Seperti biasa mama
membawakan makanan untuk dimakan bersama. Adik saya yang saat ini sedang duduk
di bangku SMP juga ikut makan siang bersama saya dan mama. Suasananya belum
begitu mengharukan. Sampai akhirnya, sore pun tiba.
Saat itu sekitar pukul empat sore. Saya sedang
duduk-duduk di koridor rumah sakit ditemani oleh adik saya, mencari suasana
yang berbeda dengan kamar yang sudah saya tempati beberapa hari. Lalu, tak beberapa lama kemudian, kakak
perempuan dan adik saya yang paling kecil muncul dari arah pintu lift. Sudah bisa tertebak kalau kakak
saya hanya singgah sebentar, setelah itu ia akan pergi bergaul. Yah walaupun
memang tujuannya datang adalah mengantar adik saya yang paling kecil tadi ke
rumah sakit, sebab di rumah tidak ada orang. Kami bercakap beberapa saat di
koridor, dan saya tidak mampu menahan perasaan yang muncul di dalam dadaku.
Melihat kakak perempuan saya masih bisa pergi kemana-mana di saat seperti ini,
apalagi dengan menggunakan fasilitas kendaraan kepunyaan papa, saya merasa..
aneh. Seandainya, saya bisa bersikap acuh tak acuh. sayangnya saya tidak mampu bersikap seperti saya tidak peduli kalau memang saya betul-betul peduli. Saya
tidak mampu menyembunyikan rasa tidak tenang yang saya rasakan.
Hari itu memang adalah kali pertama kakak saya
mengunjungi papa sejak beliau dipindahkan ke kamar VIP. Dengan setengah
memaksa, saya menyuruhnya menengok papa dulu sebelum dia pergi. Saya, kakak
perempuan saya itu, serta kedua adik saya yang kecil-kecil berjalan menuju
kamar papa. Ketika saya masuk, papa tampak terbaring di lantai bersama mama di
sampingnya. Terlihat kedua sisi pipi mama yang basah dan hidungnya yang
memerah. Saat itu mama sedang
memijat-mijat betis papa, dan wajah papa terlihat sedang menahan rasa sakit
yang teramat sangat.
Tak beberapa lama ketika kami masuk, papa
memanggil kakak saya dan menyuruhnya meminta maaf kepada mama. Hubungan mama
dan kakak saya memang sedang tidak begitu baik. Saya tidak mampu melihat
pemandangan tersebut sehingga saya hanya berdiri dan mencari perhatian yang
lain. Setelah itu, saya mendengar papa menyerukan, “peluk! Peluk!” yah, papa
menyuruh kakak saya memeluk mama. Disitu rasanya memilukan sekali, saya tidak
berani melihat pemandangan tersebut, bahkan hanya mendengarkan momen tersebut
berjalan saja sudah membuat hati saya pilu. Setelah memastikan bahwa momen itu sudah
berakhir, saya mendatangi papa kembali. Mama sambil terisak-isak menyuruh saya
memijat betis papa. Mama di bagian kanan, dan saya di bagian kiri. Setelah itu,
seorang dokter pun masuk. Pertanyaan pertama yang dia lontarkan adalah,
“kenapaki tidur di lantai, pak?”
Lagi, papa mengeluhkan rasa sakit di bagian
perutnya. Di sela isakannya, mama berkata kepada dokter dengan setengah marah,
meminta bagian perut papa untuk segera di ronsen, bukan hanya di terka-terka
penyakitnya dari semua gejala yang ada- seperti yang dilakukan selama ini. dokter
itu pun menyanggupi. Selain itu dia juga menyarankan untuk papa mengonsumsi
obat tidur. Dan malam itu juga, obat tersebut diberikan. Saya ingat sore itu,
saat semuanya mulai sedikit membaik, papa yang tadinya terlentang di lantai, sekarang
sudah berada di atas tempat tidur. Saya berkata padanya, “sugesti yang
baik-baik nah, pa.” Papa hanya tersenyum dan menjawab, “iya.”
Setelah itu, saya keluar kamar, berjalan agak
jauh menuju koridor yang tidak banyak dilalui orang. Saya duduk sendirian di salah
satu kursi yang menghadap kaca taman. It
wasn’t a good feeling¸ and I cried.
Saya kembali ke kamar dan melihat mama
berbaring diatas tempat tidur pasien, disamping papa.
Malam itu, seperti malam-malam biasanya, saya
menjaga papa sendirian. Mama dan kedua adik saya sudah pulang dari sekitar jam
delapan. Obat tidur yang dikonsumsi papa bekerja dengan baik. saya akhirnya
mendengar suara dengkuran papa. Mungkin itu adalah pertama kalinya saya senang mendengar suara orang mendengkur. Sampai papa terbangun dari tidurnya, saya masih
belum tidur. Selain karena siklus tidur yang berantakan yang membuat saya tidak
bisa tidur di malam hari, saya memang sudah berniat untuk menjaga papa dan berusaha untuk tetap ada di waktu yang tidak terduga, bahkan untuk hal sekecil apapun,
misalnya saat papa membutuhkan bantuan saya untuk membukakan pintu kamar mandi.
semenjak papa mendapatkan kembali waktu tidurnya, semuanya mulai membaik dan membaik. Hari-hari di rumah sakit saat itu adalah hari terberat yang pernah saya lalui selama hidup. Tidak ada perasaan yang lebih buruk dibanding ketika melihat orang tua sakit.
Tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar