A good father of mine, a good husband of a woman called my mom

I've been planning to write down about these things since a month ago, when they happened. so there you go.



Pagi itu adalah salah satu diantara banyak pagi yang saya jalani tanpa tidur sebelumnya. Setelah men-cap diri sebagai kaum nocturnal, hal ini merupakan sesuatu yang biasa- mengingat saya memang sudah terbiasa mengerjakan segala sesuatunya dari mulai tengah malam sampai saat dimana adzan subuh terdengar samar-samar dari kejauhan. Biasanya waktu tersebut saya habiskan dengan menarik-narik garis menggunakan pensil diatas kertas gambar. Atau mungkin hanya sekedar berbaring di dalam kamar dengan lagu yang dibiarkan mengalun di telinga walau tidak betul-betul didengarkan. Tapi kali ini adalah pagi yang berbeda. Saya tidak sedang berbaring di atas kasur di dalam kamarku yang sederhana. Tidak ada jendela dengan gorden bermotif bunga-bunga berwarna merah muda. Tidak ada gitar dengan senar pertama yang putus. Tidak ada sketsa-sketsa yang tertempel di dinding. Serta tidak ada lukisan asal-asalan di tembok dekat jendela yang terbuat dari cat air. 

Rasanya saya baru memejamkan mata selama 15 menit ketika tiba-tiba soundtrack  ‘dragon ball’ terputar dengan kencang, menandakan bahwa ada sebuah panggilan masuk di telfon seluler ku. Saya yang saat itu sedang berada dalam posisi tengkurap, langsung meraih handphone  yang berada di dekat bantal kepala, lalu mengangkat panggilan masuk tersebut dan mencoba berbicara dengan nyawa yang belum terkumpul dengan sempurna, “halo?”

Lawan bicara saya di telfon saat itu adalah tante saya sendiri, yang sedang berada di luar kota. Menelfon-saya-setiap-pagi sudah menjadi rutinitas nya selama papa masuk rumah sakit dan dia sedang tidak berada di Makassar. Suaraku yang kedengaran serak dari ketika saya pertama kali bersuara di telfon langsung membuatnya bertanya, “sakit ko nak?” nada bicaranya yang terdengar khawatir begitu membuat hatiku terenyuh. Setelah mendehem pelan, saya lalu menjawab, “tidak. Baru ka bangun.” Yap, bangun dari tidur yang hanya berdurasi beberapa menit. Setelah itu, seperti biasa, dia menanyakan bagaimana kondisi papa dan menjanjikan kedatangan dirinya di keesokan hari.

Setelah sambungan telfon itu berakhir, saya lalu berjalan mencari pemandangan di depan jendela. Tentunya setelah menjelaskan kepada papa apa yang baru saja tante saya tanyakan di telfon. Di luar jendela terdapat pemandangan taman rumah sakit dengan genangan air dimana-mana. Ternyata semalam turun hujan. Selama di rumah sakit, saya tidak pernah sadar akan hujan kecuali melihatnya sendiri melalui jendela.

Sebelumnya, sekitar jam tiga dini hari di hari yang sama, saya sedang asik menarik-narik garis di selembar kertas dalam buku sketsa ku, sambil sesekali melihat ke tempat tidur pasien- memindahkan objek yang ditangkap oleh mata ke dalam selembar kertas dalam bentuk arsiran pensil. Papa tampak tertidur, atau mungkin lebih tepatnya sedang berpura-pura tidur. Beberapa hari beliau mengalami kesulitan untuk tidur dikarenakan rasa sakit yang mendera bagian perutnya, sehingga dia sering tampak gusar dan gelisah. Papa sedang terbaring di atas tempat tidur, begitupun dia didalam lukisan sketsaku. Tak beberapa lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu, lalu seorang dokter jaga masuk ke dalam kamar dan menghampiri papa. Ternyata papa baru saja memencet tombol pemanggil perawat yang berada diatas tempat tidur pasien. Dokter jaga yang saat itu datang memenuhi panggilan pasien nya adalah seorang perempuan berjilbab yang tampaknya sangat alim. Dia bahkan tampak seperti seorang udztadzah dengan jilbab yang menjuntai menutupi pakaian yang ia kenakan. Dengan nada yang sangat lembut, ia bertanya, ‘kenapaki pak?’ lalu papa, dengan suara setengah merintih, menjawab bahwa rasa sakit di sekitar perutnya benar-benar membuatnya susah tidur.

Setelah obrolan singkat yang menyisakan konklusi bahwa papa harus menunggu dokter yang menangani papa untuk menganjurkan resep yang seharusnya, akhirnya papa terus terjaga sampai pagi tiba- sambil memejamkan mata sembari menunggu kantuk membawanya ke dunia mimpi.

Hari itu saya terbangun sekitar jam satu siang, tepat ketika mama dan salah satu adik saya datang. Seperti biasa mama membawakan makanan untuk dimakan bersama. Adik saya yang saat ini sedang duduk di bangku SMP juga ikut makan siang bersama saya dan mama. Suasananya belum begitu mengharukan. Sampai akhirnya, sore pun tiba.

Saat itu sekitar pukul empat sore. Saya sedang duduk-duduk di koridor rumah sakit ditemani oleh adik saya, mencari suasana yang berbeda dengan kamar yang sudah saya tempati beberapa hari.  Lalu, tak beberapa lama kemudian, kakak perempuan dan adik saya yang paling kecil muncul dari arah pintu lift. Sudah bisa tertebak kalau kakak saya hanya singgah sebentar, setelah itu ia akan pergi bergaul. Yah walaupun memang tujuannya datang adalah mengantar adik saya yang paling kecil tadi ke rumah sakit, sebab di rumah tidak ada orang. Kami bercakap beberapa saat di koridor, dan saya tidak mampu menahan perasaan yang muncul di dalam dadaku. Melihat kakak perempuan saya masih bisa pergi kemana-mana di saat seperti ini, apalagi dengan menggunakan fasilitas kendaraan kepunyaan papa, saya merasa.. aneh. Seandainya, saya bisa bersikap acuh tak acuh. sayangnya saya tidak mampu bersikap seperti saya tidak peduli kalau memang saya betul-betul peduli. Saya tidak mampu menyembunyikan rasa tidak tenang yang saya rasakan. 

Hari itu memang adalah kali pertama kakak saya mengunjungi papa sejak beliau dipindahkan ke kamar VIP. Dengan setengah memaksa, saya menyuruhnya menengok papa dulu sebelum dia pergi. Saya, kakak perempuan saya itu, serta kedua adik saya yang kecil-kecil berjalan menuju kamar papa. Ketika saya masuk, papa tampak terbaring di lantai bersama mama di sampingnya. Terlihat kedua sisi pipi mama yang basah dan hidungnya yang memerah. Saat itu mama sedang memijat-mijat betis papa, dan wajah papa terlihat sedang menahan rasa sakit yang teramat sangat.

Tak beberapa lama ketika kami masuk, papa memanggil kakak saya dan menyuruhnya meminta maaf kepada mama. Hubungan mama dan kakak saya memang sedang tidak begitu baik. Saya tidak mampu melihat pemandangan tersebut sehingga saya hanya berdiri dan mencari perhatian yang lain. Setelah itu, saya mendengar papa menyerukan, “peluk! Peluk!” yah, papa menyuruh kakak saya memeluk mama. Disitu rasanya memilukan sekali, saya tidak berani melihat pemandangan tersebut, bahkan hanya mendengarkan momen tersebut berjalan saja sudah membuat hati saya pilu. Setelah memastikan bahwa momen itu sudah berakhir, saya mendatangi papa kembali. Mama sambil terisak-isak menyuruh saya memijat betis papa. Mama di bagian kanan, dan saya di bagian kiri. Setelah itu, seorang dokter pun masuk. Pertanyaan pertama yang dia lontarkan adalah, “kenapaki tidur di lantai, pak?”

Lagi, papa mengeluhkan rasa sakit di bagian perutnya. Di sela isakannya, mama berkata kepada dokter dengan setengah marah, meminta bagian perut papa untuk segera di ronsen, bukan hanya di terka-terka penyakitnya dari semua gejala yang ada- seperti yang dilakukan selama ini. dokter itu pun menyanggupi. Selain itu dia juga menyarankan untuk papa mengonsumsi obat tidur. Dan malam itu juga, obat tersebut diberikan. Saya ingat sore itu, saat semuanya mulai sedikit membaik, papa yang tadinya terlentang di lantai, sekarang sudah berada di atas tempat tidur. Saya berkata padanya, “sugesti yang baik-baik nah, pa.” Papa hanya tersenyum dan menjawab, “iya.”

Setelah itu, saya keluar kamar, berjalan agak jauh menuju koridor yang tidak banyak dilalui orang. Saya duduk sendirian di salah satu kursi yang menghadap kaca taman. It wasn’t a good feeling¸ and I cried. 

Saya kembali ke kamar dan melihat mama berbaring diatas tempat tidur pasien, disamping papa.

Malam itu, seperti malam-malam biasanya, saya menjaga papa sendirian. Mama dan kedua adik saya sudah pulang dari sekitar jam delapan. Obat tidur yang dikonsumsi papa bekerja dengan baik. saya akhirnya mendengar suara dengkuran papa. Mungkin itu adalah pertama kalinya saya senang mendengar suara orang mendengkur. Sampai papa terbangun dari tidurnya, saya masih belum tidur. Selain karena siklus tidur yang berantakan yang membuat saya tidak bisa tidur di malam hari, saya memang sudah berniat untuk menjaga papa dan berusaha untuk tetap ada di waktu yang tidak terduga, bahkan untuk hal sekecil apapun, misalnya saat papa membutuhkan bantuan saya untuk membukakan pintu kamar mandi. 

semenjak papa mendapatkan kembali waktu tidurnya, semuanya mulai membaik dan membaik. Hari-hari di rumah sakit saat itu adalah hari terberat yang pernah saya lalui selama hidup. Tidak ada perasaan yang lebih buruk dibanding ketika melihat orang tua sakit.

Tidak ada. 



late night talk...

hello. tulisan ini saya ketik dari dalam ruang tamu rumah seorang teman di sebuah daerah bernama Lodan, Jakarta Utara. waktu sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam. Harusnya sekarang saya lagi sleeping beauty dengan iler yang membentang di daerah sekitaran bibir saya yang gak seksi-seksi amat. Namun takdir tak dapat ditolak. Bukan cuma cita-cita atau jodoh aja yang harus kita kejar di dunia ini. There's another kind of that things named 'morning flight'.

Karena kebetulan di setiap kasur yang saya tempati tidur semuanya mengandung lem korea, makanya sekarang saya lebih milih untuk duduk anteng didepan laptop yang (juga) kebetulan tersambung dengan jaringan internet, daripada saya harus berhadapan dengan resiko bahwa saya akan terbangun jam 10 pagi. Beberapa teman saya juga lebih milih untuk gak tidur. ada yang lagi main handphone, ada yang lagi baca buku, ada yang lagi kangen. nah ini yang lagi kangen orangnya lagi duduk anteng depan laptop. hahahaha


malam ini adalah malam yang berbeda. yah, karena saya sedang berada beberapa mil jauh dari rumah, tempat dimana saya tumbuh dan berkembang. tapi yang namanya malam ya tetap malam. langitnya hitam. banyak penjual terang bulan dan nasi goreng, sari laut juga buka dimana-mana. tapi ada sesuatu yang berbeda yang membuat malam seolah punya energi nya sendiri. sangat menarik bagaimana malam mampu 'membangunkan' pikiran disaat dimana harusnya kita sedang memutari dunia mimpi. yeah, the nocturnal.

mungkin itulah kenapa ngobrol enaknya pas tengah malem. itulah kenapa penulis seringnya mendapat inspirasi di malam hari. kenapa para tangan-tangan seniman menjadi lebih lihai ketika dia mengerjakan karya seni dengan berbalutkan atmosfer udara malam. dan peran-peran malam yang lain.

entahlah, sebuah obrolan bisa menjadi lebih hangat ketika kita membicarakannya disaat kebanyakan orang sedang tertidur. sebagai orang yang pernah punya pacar, (hmm... yeah-_-) kita semua pasti tau bagaimana rasanya mengobrol baik itu lewat sambungan telfon atau face to face dan kita tanpa sadar lupa bahwa waktu sedang berjalan. ketika malam perlahan berubah menjadi fajar dan udara dingin dengan hati-hati mulai menjilati beberapa bagian tubuh kita yang tidak terjangkau oleh kain baju dan celana yang kita kenakan, dan saat itu, hanya secara hati kita bisa merasa hangat. hanya sebatas melalui suara lawan bicara yang mengudara di sekitar lubang telinga.

tepat sekitar jam segini, kemarin, saya masih berada di atas kereta menuju kota Jakarta setelah menghabiskan dua hari yang singkat di kota kembang, Bandung. Sebenarnya kemarin saya harusnya sudah mengupdate satu postingan di blog ini, tapi tepat ketika beberapa paragraf sudah terangkai, jeengggggggg tab new entry saya tiba-tiba ter-close dan buruknya tulisan saya tersebut tidak tersimpan di folder draft. saya pun mencoba melapangkan dada sekuat-kuatnya. kemarin, saya sedang berada di dalam mood yang tidak begitu bagus sehingga saya memutuskan untuk mengetik di blog  melalui smartphone punya seorang teman. karena saya sedang tidak ingin cerita ke siapa-siapa, sebelum memutuskan menulis di blog, akhirnya saya memasang sebuah status di twitter yang isinya begini:

'i need an honest answer. do you guys think, people who is UPSET talking about what they actually feel for all along or it's not their self talking, because in this case, they are UPSET?'

ada banyak hal yang di dunia ini yang sebaiknya gak perlu kita tahu. mungkin emang saya yang bego mau nyari tahu things that i should left unknown. karena pada akhirnya saya bakal end up sakit hati and constantly thinking about that shit. Maka jadilah twit diatas. Sebuah pertanyaan yang terus menerus saya pikirkan sepanjang perjalanan diatas kereta.

membandingkan kemarin dan hari ini, atau membandingkan tahun lalu dan hari ini, terdapat banyak perbedaan yang lumayan signifikan. semesta selalu memiliki cara untuk memainkan perasaan manusia. dari yang tadinya badmood, langsung bahagia. dan sebaliknya. begitu terus menerus. Di hari ini, tepat tahun lalu, everything was completely different. kita gak pernah tau apa yang akan terjadi satu detik kemudian. yet orang-orang tetap panik mempermasalahkan masa lalu, masa depan, dan masa-masa lainnya. toh, satu menit yang lalu juga udah jadi masa lalu. jadi kadang saya suka mikir kenapa ada orang yang masih mempermasalahkan hal tersebut seolah we will forever stuck. dan bagaimana orang memberi wejangan-wejangan seperti, 'perjalanan mu masih panjang, jadi jangan berfikir kamu bakal suka terus sama dia' sementara to him/her, he/she believes they will make it to forever. do you guys get the point?
mungkin wejangan-wejangan yang kita berikan kepada orang lain tergantung pada posisi kita sedang berada dimana kali ya. tapi ada juga yang mikir, bahwa kadang apa yang kita kasih tau ke orang lain adalah sebuah reminder untuk diri kita sendiri. you choose which one you agree with.

sudah hampir jam 2 malam. Couple hours more to go to the airport. sebelum cus, saya mau berbagi beberapa penggal puisi karya saya sendiri. siapa tau bisa jadi inspirasi atau mungkin bisa langsung jadi jurus pamungkas buat para kaum-kaum muda yang sedang berada dalam proses odo-odo a.k.a nge-gebet. there you cus!

the clock seem to wave at me like telling that i should've been sleeping, but i ignore
i've tried my best not to hoping, but i can't help my self not to fall for you more


***

There are so much plans that hanging on people's life

like a piece of paper that contains what-to-do list

i can't wait to the time of ours to arrive

your heart is where my heart is.


***


we live in a hectic place, where everything seems on fire

let me just stare at your face, because it's by your existence, where i can always get inspired.



ADIOS!