Mata, Hati dan Telinga

Kita, manusia, hidup dari apa yang panca indera kita tangkap. Sekian banyak desas-desus telah melewati lubang telinga. Sekian banyak peristiwa telah berhasil ditangkap oleh  mata. Kebenaran dari setiap kejadian adalah hal yang relatif. Apa yang kita dengar, belum tentu sesuai dengan realita. Apa yang kita lihat aja belum tentu benar, apalagi yang cuma kita dengar?
Apabila harus memilih, kita pasti lebih memilih membantu seorang nenek tua yang sudah begitu renta – yang sedang meminta-minta dijalan, dibandingkan menolong seorang anak berusia sekolah dasar dengan tubuh yang masih segar bugar, yang juga melakukan pekerjaan yang sama. Dari apa yang kita lihat, kita menilai dan timbul lah rasa empati. Padahal siapa tau, kalau ternyata anak kecil itu bekerja untuk kakeknya yang sudah tidak mampu melakukan apa-apa. Yah, kita, manusia, selalu menilai dari apa yang tampak.
Kita menilai seseorang itu ramah, padahal kita gak tau seperti apa dia memperlakukan orang lain. Selama ini kita juga cuma kenal nama dan muka.
Kita menilai seseorang bahagia, padahal kita gak tau kalo dalam hati orang itu, dia selalu merasa ada yang hilang.
Kita menilai seseorang tidak tau, padahal otak orang itu menyimpan segala sesuatu lebih dari yang bisa kita bayangkan.
Kita menilai seseorang itu sabar, padahal dalam benaknya, dia sudah membunuh banyak orang.
Belum tentu apa yang kita lihat itu benar, apalagi yang hanya kita dengar. Apalagi lagi, yang hanya kita kira-kira. Walau mungkin yang satu ini lebih banyak yang percaya; hasil perkiraan perasaan.
Kalau ditelaah lagi, segala hal yang melewati panca indera kita mungkin salah satunya adalah sebagai pemenuh rasa ingin tahu. Apakah yang kita dengarkan, akan mengurangi rasa ingin tahu kita untuk melihatnya sendiri? Apakah yang kita lihat, akan mengurangi rasa ingin tahu kita untuk merasakannya sendiri?
Coba gunakan mata, hati dan telinga secara seimbang lalu lihat, dengar, dan rasakan bahwa setiap hal punya rahasianya masing-masing. 


2 komentar: