Saya tidak akan membuka tulisan ini dengan kalimat semacam “Sudah lama saya tidak menulis” atau “Sudah lama saya tidak mengupdate postingan di blog ini” seperti yang saya tulis di postingan terakhir dan beberapa postingan lainnya saat saya baru kembali menulis setelah meninggalkan blog ini untuk beberapa waktu. Kenyataannya, saya masih mengunjungi blog ini sesekali, untuk membaca ulang beberapa tulisan lama dan mencoba mengingat kembali momen dan perasaan saat saya merangkai kata demi kata dalam tumpukan tulisan yang saya tinggalkan disini. Satu hal yang saya syukuri adalah kegemaran saya dalam menulis sejak lebih dari satu dekade yang lalu—yang membuat saya selalu bisa menelusuri jejak yang saya tinggalkan dan menyelami kotak kenangan yang membentuk saya hingga hari ini. Sepertinya, menjadi dewasa adalah perihal menerima bahwa setiap momen yang dilalui, sudah menjadi bagian dari diri. Setidaknya itulah yang saya pelajari selama tiga tahun terakhir—diantara rentetan peristiwa yang mengambil banyak ruang dalam kepala. Sulit rasanya menyebutnya sebagai peristiwa acak, dan saya pun tidak ingin menyebutnya demikian.
Tahun ini bahkan belum mencapai setengah jalan, namun sepertinya sudah banyak sekali orang yang dibuat kewalahan dengan apa yang terjadi selama beberapa bulan terakhir. Berbagai macam berita buruk muncul satu persatu. Seolah tidak diberi ruang untuk bernafas, setiap hari orang-orang harus bertarung melawan realita yang dunia suguhkan. Kenyataan pahit, kepergian, kehilangan, dan segala rencana-rencana baik yang tertunda. Bagi sebagian orang, bersikap pesimis adalah jalan yang paling rasional. Hal ini mengingatkan saya bahwa tahun yang paling berat dalam hidup sudah saya lalui enam tahun yang lalu. Dan setidaknya ingatan itu yang kini menguatkan saya—bahwa saya bisa melewati fase ini walaupun memakan waktu yang tidak seorangpun dapat pastikan, kapan ini akan berakhir.
Saya bukan orang yang paling penuh dengan energi positif. Seringkali, saya dibuat kalut dengan pemikiran-pemikiran tentang apa yang harusnya sudah saya lakukan dan berharap bisa mengubahnya. Namun saat ini, berperilaku optimis adalah usaha terbesar yang saya lakukan. Lucu sebenarnya saat menyadari bahwa akhir-akhir ini saya benar-benar mengingatkan orang-orang—siapapun yang kebetulan menghubungi saya melalui jalur pesan pribadi, untuk ‘sehat dan bahagia’. Bahkan dalam sebuah grup whatsapp yang tidak satupun anggotanya pernah kutemui. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah mereka menerima itu sebagai sebuah pengingat yang tulus, ataukah hanya sebuah basa-basi yang diucapkan ditengah pandemi untuk sekedar mengisi kolom chat yang kosong?
Konsep ketulusan itu sendiri terngiang sejak awal bulan Maret lalu. Sebuah topik yang cukup membuat bingung, karena ketulusan adalah perihal rasa. Dan rasa, apapun itu yang coba terekspresikan, adalah abstrak. Apa yang diucapkan akhirnya adalah sebuah wujud penyederhanaan rasa menjadi sebuah makna yang penuh dengan interpretasi. Sayangnya, seringkali saya tidak mampu menyederhanakan itu.
Terlepas dari segala kesemerawutan yang terjadi, dan harapan orang-orang untuk bisa melompati tahun ini ke tahun depan (yang tidak pasti apakah akan tidak lebih buruk), saya justru banyak bersyukur. Untuk saya, tahun ini dimulai dengan beberapa pertemuan yang tidak terduga, serta relasi-relasi yang terperbaharui. Dalam urusan pekerjaan, saya menerima banyak tantangan baru, dan yang terpenting; menyelesaikannya. Beberapa percakapan yang saya alami dengan orang-orang yang baru saya kenal membuat saya semangat hari ini. Sehingga cukup menandakan bahwa awal tahun ini sebenarnya tidak begitu buruk. Mungkin kelak saya akan mengenang masa sulit ini sambil tersenyum, karena yang paling membekas dalam ingatan justru adalah energi yang saya terima—yang membuat saya kembali menemukan jalan menuju diri saya sendiri. Serta kerinduan, yang merupakan salah satu emosi terbesar yang saya rasakan—yang justru membangkitkan koar semangat di dalam jiwa. Terlepas dari anjuran pemerintah untuk masyarakat tinggal di rumah masing-masing, saya memang tidak banyak bertemu dengan mereka yang berada dalam lingkar pertemanan saya, terutama sejak mereka punya rutinitas baru. Harusnya bulan ini saya mengunjungi dua orang sahabat saya yang bekerja di luar kota, namun akhirnya harus tertunda. Tapi tidak dengan usaha kami untuk saling menghubungi melalui panggilan video.
Yang saya juga sadari, adalah lingkar pertemanan yang kini semakin menyempit. Sejujurnya, saya menganggap bahwa saya tidak memiliki banyak teman. Atau barangkali, lebih tepatnya, saya tidak memiliki banyak orang yang bisa saya anggap sebagai teman. Masa pandemi ini membuat saya banyak merenungkan tentang hubungan saya dengan sesama. Dan bahwa sebenarnya, kuantitas pertemuan tidak sepenting doa yang dipanjatkan dalam hati saat fisik sedang tidak bersama.
Seperti judul tulisan ini—yang terinspirasi dari judul film terakhir yang saya tonton sendirian di bioskop, nanti kita ceritakan bagaimana melewati fase yang penuh dengan batas-batas ini. Semoga diantara batas-batas tersebut, kalian tetap sehat dan bahagia.