Introspeksi.

Seringkali kita menilai buruk orang lain untuk perbuatan yang mereka lakukan. Padahal sebenarnya kadang alasannya hanya karena kita tidak menyukai perbuatan tersebut. Menurut kita, “apa coba?”. Kita tahu jelas bahwa setiap orang memiliki selera yang berbeda dan cara masing-masing untuk menyenangkan diri. Lalu mengapa kita harus menghakimi orang lain untuk perbuatan tersebut karena kita tidak suka?

Saya dikelilingi oleh teman-teman yang sangat suka nonton film Korea. Sedangkan saya sendiri gak begitu suka. Film Korea terakhir yang saya tonton itu “Miracle in Cell no. 7” . Saya akui memang film itu bikin saya nangis darah sambil guling-guling terus habis itu saya moonwalk dari kampus ke rumah saking sedihnya. Tapi saya gak pernah tertarik untuk nonton film-film Korea walaupun katanya Lee Min Hoo ganteng banget disitu. Saya masih milih Donny Alamsyah kok. Bagaimanapun kita harus mencintai produk dalam negeri. Kalo bukan kita, siapa lagi kan




Saya bukan gak suka sama film Korea, tapi saya seringkali mendengar banyak orang yang meng-underestimate karya Made in Asia tersebut. Seperti yang kita jelas tahu, penonton film-film Korea di seluruh dunia di dominasi oleh kaum Hawa. Konon ceritanya, Film Korea memiliki kekuatannya tersendiri. Alur ceritanya terbukti magical sehingga mampu mengundang air mata diikuti dengan ingus yang meler-meler kesana kemari. Kalo menurut orang-orang yang memandang film Korea sebelah mata, pasti beranggapan bahwa itu cuma buang-buang waktu. Ngapain coba nonton film semacam itu terus habis itu jadinya ber-ekspektasi yang enggak-enggak, sesuai dengan apa yang ditonton? Toh hidup ini sudah terlalu getir. *asik.

Lama kelamaan kebiasaan menonton film Korea menjadi sebuah candu. Setiap harinya mereka menghabiskan berjam-jam menatap takjub ketampanan Lee Min Hoo lewat layar kaca. Lagi, yang menganggap Film Korea adalah ‘sampah’ pasti langsung bergidik sambil bilang ‘apa gak ada lagi sesuatu yang lebih bermutu yang bisa dikerjakan dari nonton film Korea?”

Nah, apa bedanya nonton film Korea sama nonton pertandingan bola?

Kita menganggap nonton film Korea itu buang-buang waktu, sementara kita mengikuti perkembangan Liga Inggris dan sekiranya menghabiskan hampir dua jam setiap pertandingan. Sesekali kita berada dalam momen saat kita dikecewakan oleh tim andalan kita yang mengalami kekalahan. Tapi kita sama sekali tidak menganggap menonton pertandingan bola itu buang-buang waktu. Walaupun sebenarnya rasa sakit karena tim andalan kita kalah tidak jauh beda dengan rasa sakit melihat Lee Min Hoo berpisah sama Susi yang dipindahin kerja ke Arab.

Yap, Perbuatan yang sama dalam bentuk yang berbeda. Mengapa kita harus menghakimi orang lain untuk perbuatan yang mereka lakukan sementara kita pun melakukannya, dalam bentuk yang berbeda?

Kita berkoar-koar memerangi korupsi yang dilakukan oleh para petinggi negara, padahal uang untuk kebutuhan kuliah kadang kita masih tidak jujur. Kita berkoar-koar untuk melakukan penghijauan bumi, padahal buang sampah aja masih suka lewat kaca mobil. Kita berkoar-koar untuk melakukan penghematan energi, sementara ngelepasin chargeran dari colokan aja masih suka males. Kita berkoar-koar melawan pemborosan air, padahal kita sendiri sebenarnya suka boros waktu. Betapa kita tidak menyadari bahwa sebenarnya kita adalah wujud dari perbuatan yang kita kecam.

Sebagai orang yang bukan lagi anak kecil, kita pasti tahu yang mana yang baik dan yang bukan. Walaupun kadang yang tidak baik adalah sesuatu yang menyenangkan. Tapi saya percaya sesuatu yang bermanfaat adalah sesuatu yang paling baik.

Kalo memang nonton film Korea bikin kamu jadi lebih bijak dalam menyikapi hidup, good for you. Kalo memang nonton Liga Inggris bikin kamu ter-motivasi untuk bermain bola secara lebih baik lagi, good for you.


Sulit memang menjadi bijaksana tanpa kedengaran judgemental. Setidaknya dengan itu kita sadar, bahwa kita sebenarnya tidak pernah benar-benar lebih baik dari orang lain. Serta alangkah baiknya untuk selalu memulai dari diri sendiri terlebih dahulu.