simple daily thoughts

Ingat kebaikannya..
Inilah kalimat yang selalu coba gue lafaskan dalam hati setiap kali ada teman yang "menyakiti" gue. Tidak semua orang bisa selalu berlaku baik ke kita, bahkan sahabat kita sendiri. Kita pasti tau bagaimana rasa senang yang kita rasakan pas kita ditolong atau pas teman kita lagi baik-baiknya sama kita. Bagaimana rasa syukur dan terima kasih yang kita hanturkan sebab Tuhan telah bermurah hati mengirimkan orang seperti mereka. Tapi sekali lagi, kita tidak mungkin bisa selalu diperlakukan secara menyenangkan, dan kita tidak berhak menuntut untuk itu. Mungkin aja suasana hati mereka sedang gak bagus. atau mungkin ya kembali ke diri kita sendiri. Mungkin kita yang emang lagi nyebelin. Kalo kita merasa "kayaknya gue biasa-biasa aja deh" atau gak salah apa-apa, yaudahlah, mungkin emang mereka sedang gak respect sama kita, dan perlakuan buruk orang ke kita bukan sesuatu yang harus dibalas dengan perlakuan yang sama. Cuma orang bego doang yang mau nge-guyur api kebakaran pake bensin. Karena sekali lagi, gue selalu mencoba menanamkan dalam hati dan benak gue "ingat kebaikannya.." ya emang miris sih, bagaimana terkadang satu kesalahan bisa menutupi seribu kebaikan. Tapi gak ada gunanya mikirin yang buruk-buruknya, karena semua orang emang punya keburukan dan pernah "menjahati" orang lain. yang terpenting adalah gak memperkeruh keadaan aja. Kalo emang orang itu gak pernah punya catatan kebaikan dalam memori kita yang bisa diingat, doain aja dia yang terbaik.Kalo kita udah tau gimana rasanya digituin orang, kalo rasanya enak ya dibagilah ke orang biar orang lain ngerasain juga. Tapi kalo gak enak, biar itu jadi pelajaran buat kita sendiri.

Cerpen?


“BEDA”

Pernahkah kau merasa bosan dengan seseorang yang telah sekian lama kau cintai? Atau pertanyaan lain yang berbeda, misalnya; pernahkah kau merasakan ketika seseorang bosan denganmu?
Aku menanyakan hal itu pada Aldi, pacarku, ketika kami sedang duduk bersampingan di sebuah tempat makan favorit kami. Bukan, bukan pertanyaan kedua. Dia menyeruput es teh manis dihadapannya lalu memalingkan wajah kearahku dengan tatapan seolah aku baru saja menuduhnya telah merampok di sebuah bank. Mungkin dia berfikir bahwa aku sudah bosan dengan hubungan kami sehingga aku bertanya demikian. Tapi sejauh ini, memasuki tahun kedua kami bersama, aku tidak pernah merasa jenuh atas hari-hari yang kulalui bersama dia disampingku.
“kok tiba-tiba nanya gitu?”
“gak papa. Pengen tau aja.”
“kalo aku tanya sama kamu, pernah gak kamu ngerasa bosan sama aku?”
Aku menggeleng pelan. Dia tersenyum, “aku gak pernah bosan sama kamu.”
“aku takut suatu saat nanti kamu bosan sama aku, terus kamu pergi.”
Kulanjutkan kalimatku sesuai dengan apa yang tertulis di hati, “aku takut ada orang lain yang lebih daripada aku dan karena itu aku jadi gak bernilai apa-apa.”
Dia menatapku geram. Aku langsung bisa mengerti bahwa aku harus segera diam.
“aku gak suka kamu bicara kayak gitu.”
Nada bicaranya terdengar serius. Kutundukkan kepalaku sebab tak berani melihat amarah di wajahnya.
“aku sayang kamu. Please berhenti mikir macem-macem. Kamu cukup tau kalo aku sayang sama kamu dan aku gak peduli kalo ada yang lebih baik dari kamu.”
Ucapannya itu berhasil menenangkanku, walau cuma untuk sesaat. Selebihnya, rasa khawatir di dalam hatiku terus meluap-luap. Meskipun aku juga tidak paham apa yang sebenarnya kukhawatirkan.
Dalam perjalanan pulang, kupeluk dia dari belakang sambil menikmati udara malam yang menerpa kami. Kutempelkan daun telingaku di punggungnya lalu sebisa mungkin menikmati setiap detik yang berjalan.
Kami pun tiba didepan rumahku, dan seperti biasa Aldi ikut turun dari motornya agar bisa memelukku terlebih dahulu sebelum aku masuk. Aku suka berada dalam pelukannya, yang selalu diikuti dengan sebuah kecupan yang mendarat dengan mulus di keningku. Setelah itu, kita hanya akan saling tersenyum, lalu aku akan beranjak meninggalkan dia masuk ke dalam rumah. Dan seperti biasa lagi, selalu ada pesan darinya yang masuk di handphone­-ku, tidak lama saat aku baru saja merebahkan diri diatas kasur.
"I love you, sayang."
Se-sederhana itulah kebahagiaan yang dia beri padaku. Suatu kebahagiaan yang berarti banyak sekali.
Hari demi hari berlalu tanpa ada masalah yang berarti. Tapi masalah demi masalah terus datang, tidak peduli seberapa besar usaha untuk meminimalisir kemungkinan kedatangannya. Hingga entah bagaimana alurnya, atmosfer yang berbeda seolah mengurung duniaku. Dunia dimana dia berada didalamnya.
Tiga bulan berikutnya, aku dan Aldi sedang berjalan di dalam mal menuju sebuah tempat makan setelah menghabiskan sekitar satu jam mengelilingi toko buku. Kulirik laki-laki yang sedang berada disampingku. Aldi sedang memainkan bb-nya sambil sesekali menatap kedepan untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang akan ditabraknya. Tiba-tiba aku teringat saat pertama kali aku dan Aldi jalan bersama,  seperti sekarang. Sebuah momen dan lokasi yang sama. Setelah beberapa kali diliputi perasaan canggung setiap kali tangan kami bersentuhan tanpa sengaja, dengan malu-malu dia bertanya kepadaku, “can i hold your hand?
Dengan wajah yang memerah seperti tomat yang baru matang, aku menjawab, “sure.” Setelah itu kami berdua berjalan dengan tangan yang saling menggenggam, serta jantung yang berdetak dengan kecepatan yang tidak normal.
Ingatan itu pun kabur sesampainya kami tiba di tempat makan yang kami tuju. Kita melangkah ke meja paling pojok di ruangan itu. Aldi tampak sedang tidak ingin banyak bicara, sehingga aku terus menerus memulai percakapan bahkan ketika kami sedang memilih menu yang akan kami pesan.
“kamu mau makan apa?” tanyaku.
“terserah.” Jawabnya singkat. Dia melipat tangannya diatas meja lalu menerawang ke sekeliling ruangan seolah aku sedang tidak berada disampingnya.
Awalnya itu tidak menjadi masalah bagiku. Dengan perasaan yang tenang, aku mencoba mengusulkan, “kita makan nasi goreng ampela aja ya.”
Dia hanya menganggukkan kepala tanpa bereaksi apa-apa lagi. Setelah memesan makanan, kami berdua hanya terdiam. Sesekali dia memperbaiki letak kemejanya yang sebenarnya masih rapi dari pertama kali aku bertemu dengannya hari ini. Kuperhatikan tiap gerak-geriknya lalu mulai memikirkan, sepertinya ada yang salah. Ada sesuatu yang salah ketika dua orang yang raganya sedang bersama namun seperti dipisahkan oleh jarak beratus kilometer.
Setibanya kami didepan rumah saat dia mengantarku pulang, aku turun dari atas motor dengan pemikiran bahwa setelah itu dia akan ikut turun lalu memelukku seperti bagaimana saat-saat biasanya. Namun saat aku turun dan melepaskan helmku, aku tidak melihat ancang-ancang bahwa dia akan turun dari atas motornya.
Tak lama kemudian, dia memberikan tanda kepadaku bahwa dia akan bergegas pergi. Dengan perasaan yang hancur, aku bertanya, “is there no goodnight kiss?”
Setelah beberapa detik yang begitu menyesakkan dada, dia melepaskan helmnya lalu turun dan berjalan kearahku. “good night.” Ucapnya setelah mengecup pelan keningku. Kutarik nafasku lalu berbalik badan dan masuk kedalam rumah. Suara motornya pun lenyap dari kejauhan.
Entah kenapa, perpisahan ini terasa ganjil. Seperti ada tulang kering yang tersangkut di tenggorokan. Kita berdua berlalu untuk saling meninggalkan, tapi tidak dengan kesan yang indah. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar lalu membuang diri diatas kasur. Handphone­-ku tidak juga berbunyi bahkan ketika berjam-jam sudah berlalu setelah dia pergi. Dan benar saja, sampai aku terbangun dari tidurku, pesan yang kutunggu tidak juga muncul.
Hari-hari berikutnya, aku mencoba membiasakan diri pada setiap perubahan yang dia tampakkan. Sifatnya yang dingin setiap kami jalan bersama, kata-kata manis yang tidak lagi muncul saat aku bangun atau baru saja akan terlelap, serta perubahan-perubahan lainnya yang kadang memang menyakitkan buatku. Aku sadar betul kalau aku benci dengan suasana yang sedang kualami. Aku benci saat aku harus maklum seolah-olah dia sedang terserang amnesia dan aku harus berusaha sekuat mungkin untuk membangun ingatannya kembali.
Dan memang itulah satu-satunya yang bisa kulakukan. Membangun ingatannya kembali.
Aku sering mengajak dia pergi ke tempat-tempat yang sering kami datangi bersama, lalu mulai membahas banyak hal yang dulunya memang selalu kita bahas. Semua ini sebenarnya terasa sangat menggelikan, tapi berubah menyenangkan saat akhirnya aku mulai bisa menikmati kebersamaan itu lagi, walau suasananya sudah tidak lagi sama.
Akhirnya, pada suatu percakapan kami di telfon, aku memberanikan diri bertanya padanya, “kamu udah bosan yah?”
“maksudnya?”
“iya, kamu udah bosan sama aku?”
Hening. Kemudian dia menjawab, “ngga.”
“ada cewek lain?” tanyaku tanpa pikir panjang.
kudengar hembusan nafasnya yang panjang, lalu dia menjawab lagi, “jangan pernah kamu berfikiran kayak gitu.”
Hening lagi. bagaimana mungkin aku tidak berfikiran seperti itu?
Setelah percakapan kami saat itu, semuanya belum juga berangsur normal. Pada akhirnya, kunikmati saja hari-hari yang berjalan, sebab yang aku tau bahwa dia mencintaiku. Walau entah sebesar apa rasa cinta itu. Aku tidak peduli.
Beberapa bulan berikutnya, tiba saat seminggu sebelum ulang tahunnya yang juga bertepatan dengan perayaan dua tahun kami. Semuanya sudah kurencanakan didalam kepalaku, bahkan aku juga sudah meminta tolong bantuan teman-temannya untuk membantuku memberi sebuah kejutan.
Aku akan menghias kamar kosannya yang sudah dia tempati selama dua tahun lebih sejak dia merantau dari kota asalnya ke kota kelahiranku untuk kuliah. Aldi akan kembali ke kosannya saat lewat tengah malam setelah berkumpul bersama teman-temannya dan langsung akan melihat cahaya lilin diantara lampu kamarnya yang padam saat dia membuka pintu. Setelah itu dari luar aku dan teman-temannya akan muncul sambil membawa sebuah kue dengan lilin yang bertuliskan angka 21 diatasnya. Sekiranya seperti itulah yang sudah kurancang dalam benakku.
Tiga hari sebelum hari itu, Aldi dan aku bertengkar. Suatu hal yang sudah biasa terjadi selama beberapa bulan terakhir ini. Dia tidak lagi punya waktu untukku. Biasanya setiap akhir pekan aku hanya menghabiskan waktuku dirumah sambil membaca buku-buku lama yang kuambil dari dalam rak sebab aku tidak lagi punya pilihan lain, apalagi menonton televisi terasa sangat membosankan.
Aku selalu berusaha menghubunginya setiap hari, dan saat itu pula lah aku merasa terabaikan. Hingga pada akhirnya, di suatu malam saat hujan deras sedang mengguyur bumi, kusadari bahwa dia memang sudah tidak mencintaiku, tanpa perlu dia ucapkan.
Namun kuputuskan untuk tidak menyerah. Sebab yang kutahu, dulu Aldi pernah berjuang untukku.
Hari itu pun tiba. Rencanaku sebelumnya tetap kujalankan. Pukul 10 malam, aku berangkat menuju kosan Aldi bersama tiga orang temannya. Kunci kamarnya telah diduplikat untuk memudahkan misi ku. Dalam hati aku terus berdoa kepada Tuhan agar semuanya dilancarkan.
Kami baru saja sampai ketika hujan yang sangat deras tiba-tiba datang mengguyur. Saat itu memang sedang musim hujan, mengingat bahwa kita sedang berada di pertengahan bulan Desember. Sebelumnya hujan gerimis telah menemani perjalananku ke kosannya. Pakaian yang kukenakan tampak basah dan rambutku lepek karena air hujan. Diam-diam aku menahan rasa dingin yang menyerang sekujur tubuhku. Saat itu aku hanya mengenakan kaos dan cardigan tipis untuk melapisi kulitku dari udara malam yang berbaur dengan angin kencang- yang disertai hujan.
“buset hujannya deras banget.” Gumam Bayu, salah seorang teman Aldi sambil menggosok-gosok kedua lengannya.
“kue sama lilinnya aman kan, Din?” Angga bertanya kepadaku yang sedang memegang rapat-rapat kotak berisi kue di dada-ku. Aku mengintip isi kotak itu untuk memastikan bahwa keadaan kue nya masih baik-baik saja.
“iya aman kok.” Jawabku disertai dengan anggukan. Angga merogoh kantong celananya untuk mengambil kunci lalu membuka pintu kamar Aldi.
Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam ruangan itu bersama Angga, Bayu, dan Reno. Kutaruh kotak kue diatas sebuah meja kecil disamping tempat tidur lalu mengambil sebuah kantongan plastik berisi puluhan lilin di dalam tas selempang ku. Angga, Bayu, dan Reno membantuku menyusun lilin-lilin itu diatas lantai keramik kamar Aldi menjadi sebuah bentuk hati , lalu menyalakannya dengan korek gas. Mereka bertiga  memiliki selera humor yang tinggi sehingga aku tidak bisa berhenti dibuatnya terhibur dengan candaan-candaannya disela kerjaan kami.
Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah 12 saat lilin-lilin itu telah tersusun dan menyala dengan rapi . Hujan tampak masih se-deras saat kami baru saja sampai tadi dan belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Kupeluk lututku sendiri sambil duduk menyandar di tembok dan berharap bahwa hujan akan segera reda. Angga, Bayu, dan Reno sedang asik merokok di dekat pintu agar asapnya tidak mengepul dalam ruangan.
“kayaknya cuman kurang kopi sama gorengan nih.”
“nah! Itu yang sebenarnya pengen gue ungkapin dari tadi.”
“gorengan cuccok banget nih. Apalagi pisang goreng. Hujan-hujan gini emang paling cocok makan pisang!”
“Buahahaha…” tawa memenuhi seisi ruangan, aku juga ikut tertawa ngakak mendengar percakapan bodoh ketiga cowok itu.
“Din, lo gak mau ikutan ngopi di warung depan?”
“gak ah, gue disini aja.”
“gak papa nih lo sendirian?”
“iyee bawel.”
“yakin?”
“iyeh.” Jawabku dengan mantap.
“yakin nih gak mau makan pisang?”
Aku mencari-cari barang terdekat dalam jangkauanku agar bisa melempari Bayu namun dia sudah keburu kabur ke balik tembok.
“yaudah, Din. Entar kita balik kok kalo udah mau jam 12. Atau telfon gue aja ya.”
“sip sip.”
Mereka bertiga pun pergi. Tinggal aku sendirian didalam kamar dengan pintu yang menganga lebar. Dari dalam aku bisa melihat air hujan yang turun dari atas atap dengan begitu derasnya. Karena bosan, aku berjalan keluar kamar lalu duduk di sebuah kursi panjang disamping pintu. Sesekali aku melirik jam tanganku. Aldi tidak mungkin pulang dalam cuaca seperti ini. Akhirnya setelah sekian lama bergumam dalam batin, aku memutuskan untuk menyusul ke warung depan. 
Dengan langkah setengah berlari, aku melewati hujan deras dengan hanya berpayung telapak tanganku sendiri. Penglihatanku tampak kabur dan aku berkali-kali menginjak genangan air dengan tidak sengaja. Aku masih sempat merasakan ketika sebuah cahaya datang dari arah samping ke arahku. Aku masih sempat mendengar suara decitan ban kendaraan dengan jelas didalam telingaku. Berikutnya, semua tampak kabur.
Aku bisa merasakan air hujan menusuk-nusuk wajahku. Semua kedengaran bising namun aku bisa mendengar namaku disebut berulang-ulang kali. Aku bisa merasakan darah segar mengalir dari pelipisku. Dan tiba-tiba saja, semua terasa gelap. Gelap sekali.
Aku kurang begitu ingat apa yang terjadi. Namun saat aku membuka mata, aku melihat Aldi dengan wajah yang cemas di sampingku. Rambut dan sekujur tubuhnya tampak basah. Dia langsung menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Tubuh kami berdua sama-sama basah, namun aku tak mengelak untuk dipeluknya.
“aku sayang kamu, Din.. aku sayang kamu…” kudengar nafasnya yang memburu dan suaranya yang kedengaran merintih. Aku melihat Bayu, Angga, dan Reno sedang berdiri tak jauh dari kami. Wajah mereka bertiga tak kalah cemas-nya dengan Aldi. Tubuh mereka tampak basah seluruhnya. Setelah itu, aku melihat lilin-lilin di lantai yang mulai meleleh dan padam. Aldi melepaskan pelukannya dan menatapku dalam-dalam.
“lilinnya…..”
“aku udah denger ceritanya dari Angga..”
Mata Aldi tampak berkaca-kaca dan aku hanya terdiam pasrah. Dia menggengam tanganku dengan erat kemudian memelukku lagi.
“selamat ulang tahun, Aldi..” bisikku pelan. Bisa kurasakan dekapannya yang semakin erat. “Happy birthday to you.. Happy anniversary, too..”
“Happy anniversary, Din…”
Malam yang larut kian menjelang pagi, dan aku sadar bahwa segala usaha tidak pernah ada yang sia-sia.